Rabu, 29 Agustus 2012

semantik


BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu linguistik umum adalah  ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Dalam bahasa Indonesia kata linguistik bukan berarti ilmu tentang bahasa, tetapi juga berarti bahasa itu sendiri, atau mengenai bahasa. Salah satu cabang dari ilmu linguistik yaitu semantik. Semantik adalah ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna kata.
Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Ilmu semantik bermanfaat untuk memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Semantik juga banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis bahasa dan member manfaat teoritis dan juga manfaat praktis bagi calon guru.
Meskipun semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif, serta struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian, sehingga masalah semantik struktural merupakan salah satu masalah yang hangat dibicarakan (Ullman, 1977: 8).









BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Semantik
Kata Semantik berasal dari bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani Sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah Semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis : signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari:
1)   Kompoen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa.
2)   Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Makna dapat diteliti melalui:
1)   Fungsi dalam pemahaman;
2)   Fungsi hubungan antar unsur-unsur; dan
3)   Fungsi hubungan antar unsur struktural.
Makna dapat diartikan sebagai pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Tingkatan keberadaan makna, yaitu:
1)   Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2)   Makna menjadi isi dari suatu bentuk komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.

2.2    Hakikat Makna
Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau ”yang mengartikan”  yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau ”yang di artikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Umpamanya tanda linguistik berupa <meja>, terdiri dari komponen signifian, yakni berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/; dan komponen signifienya berupa konsep atau makna ’sejenis perabot kantor atau rumah tangga’.
Dengan demikian, menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah ’pengertian‘ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik.
2.3    Jenis Makna
1.    Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ’sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Oleh karena itu, banyak orang yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang terbentuk seperti metaforis.
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi poses gramatikal, seperti afiksasi, reduflikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Contohnya, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal ‘bahan’, dengan dasar Madura melahirkan makna gramatikal ‘asal’, dengan dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’, dan dengan kata Pak Kumis (nama pedagang sate) melahirkan makna gramatikal ‘buatan’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala sebagai berikut:
·      Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
·      Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
·      Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
·      Beras kepala harganya lebih mahal daripada beras biasa.
·      Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
2.    Makna Referensial dan Non-Referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensinya,atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan k arena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referensi.
Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut kata-kata deiktit, yang acuanya tidak  menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktit ini adalah kata-kata yang termasuk pronomina, seperti dia, saya,dan kamu; kata-kata yang menyataan ruang seperti di sini,di sana,dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata yang disebut penunjuk seperti ini dan itu.
3.    Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli. Makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Contoh kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’.
Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata kurus pada contoh diatas, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakan (unfavorable). Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama.
4.    Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asositif. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Misalnya,  kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’. Makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang ‘suci atau kesucian’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis buynga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum’ digunakan untuk menyataakan perlambang ‘kesucian’.
Oleh Leech (1976) kedalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif adalah karena kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Misalnya, kita membedakan penggunaan kata rumah, pondok, kediaman, istana, dan vila, yang semuanya memberi asosiasi yang berbeda terhadap penghuninya. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Miasalnya, kata tampan yang sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik dan indah, hanya cocok atau hanya berkolokasi kata yang memiliki ciri ‘pria’. Maka kita dapat mengatakan pemuda tampan, tetapi tidak dapat mengatakan gadis tampan. Jadi kata tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis dan sejenisnya.
5.    Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam pengunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada didalam konteks suituasinya. Dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Misalnya, kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti pada kalimat :
Tangannya luka kena pecahan kaca.
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat tersebut adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, makna yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas kontsks. Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Misalnya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh diatas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
6.    Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara keksikal maupun secara gramatikal. Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Idiom dan peridbahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal idiom tidak ada jalan lain selain harus melihatnya didalam kamus, khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.

2.4    Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelenbihan makna.
1.    Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya kata benar mempunyai kesamaan makna dengan kata betul.
2.    Antonim
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata tebal berantonim dengan kata tipis.
3.    Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada disebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, dan (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting, seperti pada kalimat :
(1)   Kepalanya luka kena pecahan kaca.
(2)   Kepala kantor itu bukan paman saya.
(3)   Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
(4)   Kepala jarum itu terbuat dari plastic.
(5)   Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan didalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.


4.      Homonim
Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’.
Pada kasus homonim ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Yang dimaksud dengan homofon adalah adanya kesamaaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homofon yang ejaannya berbeda tidak banyak, karena system ejaan bahasa Indonesia cukup baik. Contohnya, kata bank ‘lembaga keuangan’ dengan kata bang (bentuk singkat dari abang) yang bermakna ‘kakak laki-laki’.
Istilah homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya hanya terjadi karena ejaan untuk fonem /e/ dan fonem /ә/ sama lambangnya yaitu huruf <e>. Maka contoh hmograf yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Contohnya, kata memerah /m ә m ә rah/ yang berarti ‘melakukan perah’ dan kata memerah /m ә merah/ yang artinya ‘menjadi merah’.
5.      Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Misalnya antara kata merpati dan burung. Disini kita dapat mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati, bisa juga tekukur, cendrawasih, beo, dan yang lainnya.
6.      Ambiguiti atau ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.

Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda, tetapi karena masalah homonim, sedangkan konteksnya tidak jelas. Misalnya pada kalimat mereka bertemu paus. Dapat ditafsirkan (1) mereka bertemu sejenis ikan besar, dan dapat juga berarti (2) mereka bertemu dengan pemimpin agama Katolik.   
7.      Redundansi
Redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundans, berlebih-lebihan.

2.5    Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah, yang dissebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
1.      Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau bermakna C. Misalnya, kata sastra pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’, lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’, kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’, selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imajinatif dan kreatif’. Perubahan tersebut adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra itu didalam ilmu susastra.
2.      Perkembangan sosial budaya. Perkembangan masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Misalnya kata saudara pada mulanya berarti ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tetapi kini kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia maupun kedudukan sosial.

3.      Perkembangan pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosakata yang berkenaan dengan bidangnya. Kosakata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya dalam perkembangan kemudian digunakan dalam bidang-bidang lain, dengan makna yang baru atau agak lain dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Misalnya dalam bidang pertanian ada kosakata seperti menggarap digunakan juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang-undang.
4.      Pertukaran tanggapan indera. Alat indera kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir, panas, dan asin ditangkap dengan alat indera perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan alat indera pendengar, telinga; dan gejala terang dan gelap ditangkap dengan alat indera penglihatan, mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat indera untuk menangkap gejala yang terjadi disekitar manusia itu. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh alat indera perasa (lidah) menjadi ditangkap oleh alat pendengar (telinga), seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas. Perubahan tanggapan indera ini disebut dengan istilah sinestesia.
5.      Adanya asosiai. Yang dimaksud dengan adanya asosiasi disini adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Misalnya kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Tetapi dalam kalimat supaya urusan cepat beres, beri saja amplop. Amplop itu bermakna ‘uang sogok’. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.

2.6    Medan Makna dan Komponen Makna
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata itu.


1.      Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan semantik adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau yang lainnya, yang masing-masing merupakan satu medan makna.
2.      Komponen Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Misalnya, kata ayah memiliki komponen makna /manusia/, /dewasa/, /jantan/, /kawin/, dan /punya anak/.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Misalnya, kata ayah dan bapak adalah dua buah kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia. Kata ayah dan bapak meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya, seperti pada bagan berikut :
  
Komponen makna
ayah
bapak
1.      Manusia
+
+
2.      Dewasa
+
+
3.      Sapaan kepada orang tua laki-laki
+
+
4.      Sapaan kepada orang yang dihormati
-
+

Dari bagan itu kita bisa melihat beda makna kata ayah dan bapak yang hakiki, yang menyebabkan kata bapak tidak dapat ditukar dengan kata ayah, seperti pada contoh kalimat, Kami menghadap Bapak Gubernur Suryadi di kantornya.




3.      Kesesuaian Semantik dan Sintaksis
Analisis persesuaian semantik dan sintaksis tentu saja harus memperhitungkan komponen makna kata secara lebih terperinci. Misalnya, pada kalimat :
(1)   Nenek makan dendeng.
(2)   Kucing makan dendeng.
Kedua kalimat tersebut sama-sama dapat diterima, meskipun subjeknya yang pertama berciri /manusia/ dan yang kedua /bukan manusia/, karena verbanya, yaitu makan, memiliki komponen makna /mahluk hidup/, yang bisa berlaku untuk manusia dan binatang.
2.7    Sejarah Semantik
Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang meenggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian “kata” yang menurut Aristoteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman, 1977: 3). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna tertentu.
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammer yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni:
1)      Semasiologi, ilmu tentang tanda,
2)      Sintaksis, studi tentang kalimat, dan
3)      Etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.
Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectualles du Langage”. Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, seperti halnya Reisig, Breal masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-historis.
Masa pertumbuhan ketiga, pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya fiolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English Language (1931). Stern, dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembanagan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah:
1)      Linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilakukan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif.
2)      Bahasa merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami salling ketergatungan dalam rangka membangun keseluruhan.
















BAB III
KESIMPULAN

Kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik. Makna dapat diartikan sebagai pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Tingkatan keberadaan makna, yaitu:
1)      Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2)      Makna menjadi isi dari suatu bentuk komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.
Menurut Ferdinand de Saussure, tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau ”yang mengartikan”  yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau ”yang di artikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal. Bahkan Plato, dalam cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna tertentu. 












DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2003. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah T. 1999. Semantik I Pengantar Kearah Ilmu Makna. Bandung: Refika.
Djajasudarma, Fatimah T. 1999. Semantik II Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar