BAB
I
PENDAHULUAN
Ilmu
linguistik umum adalah ilmu yang
mempelajari tentang bahasa. Dalam bahasa Indonesia kata linguistik bukan berarti ilmu tentang bahasa,
tetapi juga berarti bahasa itu sendiri, atau mengenai bahasa. Salah satu cabang
dari ilmu linguistik
yaitu semantik.
Semantik
adalah ilmu linguistik
yang mempelajari tentang makna kata.
Objek
studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan
bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Ilmu
semantik
bermanfaat untuk memudahkan dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna
yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Semantik juga banyak memberi bekal teoritis untuk dapat
menganalisis bahasa dan member manfaat teoritis dan juga manfaat praktis bagi
calon guru.
Meskipun
semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat
historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif,
serta struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian, sehingga masalah
“semantik struktural” merupakan salah satu masalah yang
hangat dibicarakan (Ullman, 1977: 8).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Semantik
Kata
Semantik berasal dari bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari
bahasa Yunani Sema (kata benda) yang
berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah Semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud
dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis : signe linguistique)
seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri
dari:
1) Kompoen
yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa.
2) Komponen
yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan
semantik.
Makna
dapat diteliti melalui:
1) Fungsi
dalam pemahaman;
2) Fungsi
hubungan antar unsur-unsur; dan
3) Fungsi
hubungan antar unsur struktural.
Makna
dapat diartikan sebagai pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu
sendiri (terutama kata-kata). Tingkatan keberadaan makna, yaitu:
1) Makna
menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2) Makna
menjadi isi dari suatu bentuk komunikasi yang mampu membuahkan informasi
tertentu.
2.2
Hakikat Makna
Menurut
de Saussure setiap tanda linguistik
atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau ”yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau ”yang
di artikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh
signifian). Umpamanya
tanda linguistik
berupa <meja>, terdiri
dari komponen signifian, yakni berupa runtunan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/; dan komponen signifienya
berupa konsep atau makna ’sejenis perabot kantor atau rumah tangga’.
Dengan
demikian, menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah ’pengertian‘ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda-linguistik.
2.3
Jenis
Makna
1. Makna
Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks
apapun. misalnya, leksem kuda memiliki
makna leksikal ’sejenis
binatang berkaki empat yang bisa
dikendarai’. Dengan contoh itu dapat
juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi indera
kita atau makna apa adanya. kamus-kamus dasar biasanya hanya
memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Oleh karena itu, banyak orang yang
mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus
yang bukan dasar, juga
ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang
terbentuk seperti metaforis.
Makna
gramatikal baru ada kalau terjadi poses gramatikal, seperti afiksasi, reduflikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Contohnya, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna gramatikal ‘bahan’, dengan dasar Madura melahirkan makna gramatikal
‘asal’, dengan dasar lontong melahirkan
makna gramatikal ‘bercampur’, dan dengan kata Pak Kumis (nama pedagang sate) melahirkan makna gramatikal
‘buatan’.
Makna
kontekstual adalah makna sebuah leksem
atau kata
yang berada didalam satu konteks.
Misalnya, makna kata kepala sebagai berikut:
· Rambut
di kepala
nenek belum ada yang putih.
· Sebagai
kepala sekolah dia harus menegur
murid itu.
· Nomor
teleponnya ada pada kepala surat itu.
· Beras
kepala harganya lebih mahal daripada
beras biasa.
· Kepala
paku dan kepala jarum tidak sama
bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan
dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
2. Makna
Referensial dan Non-Referensial
Sebuah
kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensinya,atau
acuannya. Kata-kata
seperti kuda, merah,
dan gambar adalah termasuk kata-kata
yang bermakna referensial karena
ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya
kata-kata seperti dan, atau, dan k arena
adalah
termasuk kata-kata
yang
tidak bermakna referensial, karena
kata-kata itu tidak mempunyai referensi.
Berkenaan
dengan acuan ini ada sejumlah kata,
yang
disebut kata-kata deiktit, yang
acuanya tidak menetap pada satu
maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktit ini
adalah kata-kata yang termasuk pronomina,
seperti
dia, saya,dan
kamu; kata-kata yang menyataan ruang
seperti di sini,di sana,dan di situ;
kata-kata yang menyatakan waktu,
seperti
sekarang, besok, dan
nanti; dan
kata-kata yang disebut penunjuk seperti ini
dan itu.
3.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna
denotatif
adalah makna asli. Makna
asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki
oleh sebuah leksem. Jadi, makna
denotatif
ini sebenarnya sama dengan makna leksikal.
Contoh
kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan
tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’.
Makna
konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa
dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata kurus pada contoh diatas, berkonotasi netral, artinya tidak
memiliki nilai rasa yang mengenakan (unfavorable). Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim
dengan kata kurus itu memiliki
konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau
dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak
mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari
contoh kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa
ketiga kata itu secara denotatif
mempunyai makna sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang
tidak sama.
4. Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech
(1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asositif. Makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apapun. Misalnya, kata rumah
memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’. Makna konseptual
sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya,
kata melati berasosiasi dengan
sesuatu yang ‘suci
atau kesucian’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau
perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang
mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal
kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati
yang bermakna konseptual ‘sejenis buynga kecil-kecil berwarna putih dan berbau
harum’ digunakan untuk menyataakan perlambang ‘kesucian’.
Oleh
Leech (1976) kedalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang disebut makna
konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna
konotatif termasuk dalam makna asosiatif adalah karena kata-kata tersebut
berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan
dengan pembedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Misalnya,
kita membedakan penggunaan kata rumah,
pondok, kediaman, istana, dan vila, yang semuanya memberi asosiasi yang berbeda terhadap
penghuninya. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan
bicara atau terhadap objek
yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan. Makna
kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata
dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok
untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya. Miasalnya, kata tampan
yang sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik dan indah, hanya
cocok atau hanya berkolokasi kata yang memiliki ciri ‘pria’. Maka kita dapat mengatakan pemuda tampan, tetapi tidak dapat mengatakan
gadis tampan. Jadi kata tampan tidak berkolokasi dengan kata gadis dan sejenisnya.
5. Makna
Kata dan Makna Istilah
Pada
awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun,
dalam pengunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah
berada didalam konteks suituasinya. Dapat dikatakan bahwa makna kata masih
bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Misalnya, kata tangan dan lengan sebagai
kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti pada kalimat :
Tangannya
luka kena pecahan kaca.
Lengannya
luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat tersebut adalah bersinonim, atau bermakna
sama.
Berbeda
dengan kata, makna yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas,
yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering
dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas kontsks.
Sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Misalnya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh diatas. Kedua
kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan
sampai ke jari tangan, sedangkan lengan
adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim,
karena maknanya berbeda.
6. Makna
Idiom dan Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya,
baik secara keksikal maupun secara gramatikal. Peribahasa memiliki makna yang
masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya
“asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Idiom dan peridbahasa terdapat pada
semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya
sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal idiom tidak ada jalan
lain selain harus melihatnya didalam kamus, khususnya kamus peribahasa dan
kamus idiom.
2.4
Relasi
Makna
Relasi
makna adalah hubungan semantik
yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya.
Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan
makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga
kelenbihan makna.
1. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya kata benar mempunyai kesamaan makna dengan
kata betul.
2. Antonim
Antonim
adalah hubungan semantik
antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan,
atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata tebal berantonim dengan kata tipis.
3. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi
kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang mempunyai makna (1) bagian
tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada disebelah atas,
(4) sesuatu yang berbentuk bulat, dan (5) sesuatu atau bagian yang sangat
penting, seperti pada kalimat :
(1) Kepalanya
luka kena pecahan kaca.
(2) Kepala
kantor itu bukan paman saya.
(3) Kepala
surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
(4) Kepala
jarum itu terbuat dari plastic.
(5) Yang
duduk di kepala meja itu tentu orang
penting.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna
pertama (yang didaftarkan didalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna
leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah
makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang
dimiliki kata atau satuan ujaran itu.
4. Homonim
Homonim
adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, maknanya tentu saja
berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan.
Misalnya, kata bisa yang berarti
‘racun ular’ dan kata bisa yang
berarti ‘sanggup’.
Pada kasus homonim ini ada dua istilah lain yang
biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf. Yang dimaksud dengan homofon adalah adanya kesamaaan bunyi
(fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya
sama ataukah berbeda. Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homofon yang
ejaannya berbeda tidak banyak, karena system ejaan bahasa Indonesia cukup baik.
Contohnya, kata bank ‘lembaga
keuangan’ dengan kata bang (bentuk
singkat dari abang) yang bermakna ‘kakak laki-laki’.
Istilah homograf mengacu pada bentuk ujaran yang
sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dalam
bahasa Indonesia bentuk-bentuk homograf hanya hanya terjadi karena ejaan untuk
fonem /e/ dan fonem /ә/ sama lambangnya yaitu huruf <e>. Maka contoh
hmograf yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Contohnya, kata memerah /m ә m ә rah/ yang berarti
‘melakukan perah’ dan kata memerah /m
ә merah/ yang artinya ‘menjadi
merah’.
5. Hiponim
Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Misalnya antara kata merpati dan burung. Disini kita dapat mengatakan merpati adalah burung,
tetapi burung bukan hanya merpati, bisa juga tekukur, cendrawasih, beo, dan yang lainnya.
6. Ambiguiti
atau ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat
terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran
gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam
bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat.
Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi (1)
buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran
gramatikal yang berbeda, tetapi karena masalah homonim, sedangkan konteksnya
tidak jelas. Misalnya pada kalimat mereka bertemu paus. Dapat ditafsirkan (1)
mereka bertemu sejenis ikan
besar, dan dapat juga berarti (2) mereka bertemu dengan pemimpin agama Katolik.
7. Redundansi
Redundansi biasanya diartikan sebagai
berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Misalnya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika
tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola
itu ditendang Dika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh
inilah yang dianggap redundans, berlebih-lebihan.
2.5
Perubahan
Makna
Secara
sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa relatif singkat, makna sebuah kata akan
tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata
akan berubah, yang dissebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
1. Perkembangan
dalam bidang ilmu dan teknologi. Adanya perkembangan konsep keilmuan dan
teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi
bermakna B atau bermakna C. Misalnya, kata sastra
pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’, lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’,
kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula
bahasanya’, selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat
imajinatif dan kreatif’. Perubahan tersebut adalah karena berkembangnya atau
berubahnya konsep tentang sastra itu didalam ilmu susastra.
2. Perkembangan
sosial
budaya. Perkembangan masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya, juga menyebabkan
terjadinya perubahan makna. Misalnya kata saudara
pada mulanya berarti ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tetapi
kini kata saudara digunakan juga
untuk menyebut orang lain, sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat,
baik usia maupun kedudukan sosial.
3. Perkembangan
pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai
sejumlah kosakata yang berkenaan dengan bidangnya. Kosakata yang pada mulanya hanya digunakan
pada bidang-bidangnya dalam perkembangan kemudian digunakan
dalam bidang-bidang lain, dengan makna yang baru atau agak lain dengan makna
aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Misalnya dalam bidang pertanian ada
kosakata seperti menggarap digunakan
juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama,
dan menggarap rancangan undang-undang.
4. Pertukaran
tanggapan indera. Alat indera kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing
untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa getir,
panas, dan asin ditangkap dengan alat indera perasa, yaitu lidah; gejala yang
berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan alat indera pendengar, telinga; dan
gejala terang dan gelap ditangkap dengan alat indera penglihatan, mata. Namun,
dalam perkembangan pemakaian bahasa banyak terjadi pertukaran pemakaian alat
indera untuk menangkap gejala yang terjadi disekitar manusia itu. Misalnya, rasa
pedas yang seharusnya ditangkap oleh alat indera perasa (lidah)
menjadi ditangkap
oleh alat pendengar (telinga), seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas.
Perubahan
tanggapan indera ini disebut dengan istilah sinestesia.
5. Adanya
asosiai. Yang dimaksud dengan adanya asosiasi disini adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk
ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkenaan dengan bentuk ujaran itu,
sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud sesuatu
yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu. Misalnya kata amplop. Makna amplop
sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Tetapi dalam kalimat supaya urusan cepat beres, beri saja amplop. Amplop itu bermakna ‘uang sogok’. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.
2.6
Medan
Makna dan Komponen Makna
Kata-kata
atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas
kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata itu.
1. Medan
Makna
Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan
semantik
adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau yang
lainnya, yang masing-masing merupakan satu medan makna.
2. Komponen
Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu
mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah
komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata
itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per
satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Misalnya, kata ayah memiliki komponen makna /manusia/,
/dewasa/, /jantan/, /kawin/, dan /punya anak/.
Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk
mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Misalnya, kata ayah dan bapak adalah dua buah kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia.
Kata ayah dan bapak meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya, seperti
pada bagan berikut :
Komponen
makna
|
ayah
|
bapak
|
1. Manusia
|
+
|
+
|
2. Dewasa
|
+
|
+
|
3. Sapaan
kepada orang tua laki-laki
|
+
|
+
|
4. Sapaan
kepada orang yang dihormati
|
-
|
+
|
Dari
bagan itu kita bisa melihat beda makna kata ayah
dan bapak yang hakiki, yang
menyebabkan kata bapak tidak dapat
ditukar dengan kata ayah, seperti
pada contoh kalimat,
Kami
menghadap Bapak Gubernur Suryadi di
kantornya.
3. Kesesuaian
Semantik dan Sintaksis
Analisis persesuaian semantik dan sintaksis tentu saja harus
memperhitungkan komponen makna kata secara lebih terperinci. Misalnya, pada
kalimat :
(1) Nenek
makan dendeng.
(2) Kucing
makan dendeng.
Kedua
kalimat tersebut sama-sama dapat diterima, meskipun subjeknya yang pertama
berciri /manusia/ dan yang kedua /bukan manusia/, karena verbanya, yaitu makan,
memiliki komponen makna /mahluk hidup/, yang bisa berlaku untuk manusia dan
binatang.
2.7
Sejarah
Semantik
Aristoteles,
sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah pemikir pertama
yang meenggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian “kata” yang menurut Aristoteles
adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Aristoteles juga
telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang
hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat
terjadinya hubungan gramatikal (Ullman, 1977: 3). Bahkan Plato (429-347 SM)
dalam cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna tertentu.
Pada
tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammer yang
menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni:
1) Semasiologi,
ilmu tentang tanda,
2) Sintaksis,
studi tentang kalimat, dan
3) Etimologi,
studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.
Masa
kedua pertumbuhan semantik
telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan
Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les
Lois Intellectualles du
Langage”. Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah
menyebutkan semantik
sebagai bidang baru dalam keilmuan, seperti halnya Reisig, Breal masih menyebut
semantik
sebagai ilmu yang murni-historis.
Masa
pertumbuhan ketiga, pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan
karya fiolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English
Language (1931). Stern, dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna
secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa
puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan
kumpulan
bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembanagan
linguistik berikutnya, yakni buku Cours
de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.
Terdapat
dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan
penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah:
1) Linguistik pada dasarnya merupakan studi
kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu
sehingga studi yang dilakukan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau
studi yang bersifat deskriptif.
2) Bahasa
merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai
elemen, yang elemen yang satu dengan yang lain mengalami salling ketergatungan
dalam rangka membangun keseluruhan.
BAB III
KESIMPULAN
Kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan
semantik. Makna
dapat diartikan sebagai pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu
sendiri (terutama kata-kata). Tingkatan keberadaan makna, yaitu:
1) Makna
menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2) Makna
menjadi isi dari suatu bentuk komunikasi yang mampu membuahkan informasi
tertentu.
Menurut Ferdinand de Saussure, tanda
linguistik
atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau ”yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau ”yang
di artikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh
signifian). Aristoteles
juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang
hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat
terjadinya hubungan gramatikal. Bahkan Plato, dalam cratylus mengungkapkan bahwa
bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit
mengandung makna tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 2003. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Chaer,
Abdul. 2003.
Linguistik Umum. Jakarta : Rineka
Cipta.
Djajasudarma, Fatimah T. 1999. Semantik I Pengantar Kearah Ilmu Makna.
Bandung: Refika.
Djajasudarma, Fatimah T. 1999. Semantik II Pemahaman Ilmu Makna. Bandung:
Refika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar