RESENSI NOVEL
SASTRA
1.
Identitas Novel
a.
Judul : Si Jamin dan Si Johan
b.
Pengarang : Merari Siregar
c.
Penerbit : Balai Pustaka
d.
Tahun Terbit : 2001
e.
Cetakan : Ketujuh belas
f.
Tebal halaman :
102 halaman
g.
Tokoh-tokoh
Si
Jamin : Seorang anak kecil yang memiliki tugas untuk menghidupi adik dan ibu
tirinya yang sangat kejam.
Si
Johan : Adiknya Si Jamin yang masih kecil.
Inem : Ibu tiri Si Jamin dan Si Johan yang
sangat kejam.
Bertes : Ayah kandung Si Jamin dan Si Johan. Mantan
pejuang yang menjadi pemabuk dan suka bertengkar dengan istrinya.
Kong
Sui dan Nyonya Fi : Dua orang pedagang, suami istri yang sangat baik dan
menyayangi Si Jamin dan Si Johan.
2.
Sinopsis
Sebuah cerita yang mengisahkan dua saudara yang malang,
yaitu yang bernama Jamin (kakaknya) dan Johan (adiknya). Mereka tinggal di tepi
Prinsenlaan (sekarang, Jl. Mangga Besar) di Taman Sari, disebuah rumah setengah
tua, berdinding papan, beratap genting. Mereka tinggal bersama bapak dan ibu
tirinya. Ibu tirinya bernama Inem, dia selalu memaksa Jamin untuk mencari uang
dengan cara meminta-minta (mengemis). Jika uang yang didapat Jamin tidak sesuai
dengan keiginan ibu tirinya, maka Jamin mendapat pukulan dan tendangan, cacian
dan makian, sementara uang tersebut digunakan ibu tirinya untuk memuaskan
nafsunya dengan membeli madat (obat terlarang) dan minuman keras. Sementara
Jamin dan Johan tidak pernah diberi makan, makanya Si Jamin selalu menyisihkan
uangnya untuk membeli makan untuk adiknya Johan walaupun hanya nasi saja tanpa
lauknya.
Sementara bapaknya yang bernama Bertes, berasal dari
Ambon, tidak memperdulikan kekejaman si Inem, karena bapaknya suka
mabuk-mabukan, jadi tidak pernah sadar kalau kedua anaknya sangat menderita,
padahal dulunya Bertes adalah seorang serdadu yang pemberani di Aceh, tapi
karena Bertes bergaul dengan orang-orang pemabuk dia jadi ikut-ikutan pemabuk,
meskipun istrinya Mina (yang sudah meninggal) selalu mengingatkannya dengan
cara yang lemah lembut, agar tidak terjerumus kedalam pergaulan yang
menyesatkan, tetapi Bertes menghiraukan perkataan istrinya. Sampai ketika ia
mendapat penyakit Beri-beri kering, berbulan-bulan ia terbaring di rumah sakit
karena penyakitnya bertambah parah, akhirnya dikirim ke Jakarta, karena menurut
dokter barangkali akan sembuh.
Enam bulan lamanya ia berobat di rumah sakit di Jakarta
barulah ia sembuh, tetapi ia diberhentikan dari pekerjaannya, karena badannya
tidak kuat lagi. Karena pulang ke daerahnya (Kutaraja) ia malu, akhirnya ia
tinggal di Jakarta untuk selama-lamanya, dengan uang pension dan gaji dari
pekerjaan ringan (pekerjaan barunya), ia dapat hidup sederhana dengan istri dan
kedua anaknya, Jamin dan Johan, sampai setahun lamanya. Tetapi dalam tahun
kedua kelakuan Bertes berubah, penyakit pemabuknya kambuh lagi. Sampai-sampai
Mina menderita dan sakit-sakitan, tetapi Mina selalu berusaha menunjukan wajah
yang jernih seperti biasanya, tetapi segala nasihat sudah tidak berguna lagi
bagi Bertes. Bukannya Bertes bertambah baik, ia malah tenggelam kedalam lembah
kesesatan.
Semakin hari penyakit Mina semakin parah. Sesekali ia
membatukan darah, tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya. Suatu pagi kedua
anaknya memberitahukan tetangga-tetangganya bahwa ibunya tidak dapat bangun,
pada hari itu juga Mina dibawa ke rumah sakit, tetapi ia tidak dapat ditolong
lagi. Bertes tidak merasa menyesal atau taubat ia malah menjadi-jadi. Beberapa
hari kemudian ia bertemu dengan si Inem, perempuan yang kurang baik kelakuannya
dan menjadikan si Inem sebagai istrinya. Sejak saat itu berubahlah keadaan
rumah tangga si Bertes. Kecintaan hatinya kepada anak-anaknya berkurang
sehingga ia tidak peduli si Inem berbuat sesuka hati kepada kedua anaknya.
Akhirnya si Bertes dilepas dari pekerjaannya, sebab dia
sudah banyak melakukan kesalahan. Sejak saat itu si Inem memaksa si Jamin untuk
memint-minta, jika si Jamin tidak mau, maka si Inem mengancamnya dengan akan
membuang adiknya ke kali (sungai),
Pada suatu hari si Jamin disuruh meminta-minta dan harus
mendapatkan uang setengah rupiah (50 sen), kalau tidak dapat ia tidak boleh
pulang. Kemudian si Jmin pergi untuk meminta belas kasihan orang lain. Sudah
siang hari si Jamin baru mendapatkan uang seketip (25 sen). Dengan sedih ia
pergi duduk ke tepi sungai Ciliwung yang mengelilingi taman. Si Jamin duduk di
tepi sungai itu. Kemudian dia pergi ke pasar ikan, disana dia bertemu dengan
orang pemurah hati, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Ia pergi berteduh ke
rumah jaga (emperan toko). Ketika itu hari sudah gelap, Si Jamin teringat
pulang ke rumah, tetapi uangnya belum cukup 50 sen dan perutnya pun semakin
merasa lapar karena ia belum makan apapun sejak tadi pagi.
Kemudian ia pergi ke Pasar Baru tetapi dia tidak mendapat
apa-apa. Kemudian dia pergi ke Pasar Senen mungkin disana ia akan beruntung. Ia
berjalan makin lama makin lambat, lalu ia berhenti didepan sebuah toko dan ia
pun tertidur ditengah malam yang hujan dan dingin.
Hari sudah pagi pemilik toko itu membuka tokonya. Pemilik
toko itu bernama Kong Sui ia sangat baik dan pemurah. Kong Sui terkenal dengan
obat-obatannya yang manjurdan hargannya yang murah. Tiba-tiba Kong Sui melihat
seorang anak yang sedang tidur berpakaian kotor dan basah. Anak itu ialah si
Janim, kemudian Kong Sui membawanya kedalam dan menghangatkannya. Setelah si
Jamin sadar Kong Sui dan istrinya bertanya kepada si Jamin dan si Jamin pun
menjawabnya dengan jujur. Si Jamin menceritakan tentang uang 50 sen. Disana si
Jamin diberi makan dan baju, dia tidak lupa membawa makanan untuk adiknya
Johan. Kemudian dia bergegas untuk pulang kerumahnya dan Kong Sui memberi uang
yang 50 sen dan memberi lebih untuk si Jamin. Si Jamin sangat berterima kasih
kepada mereka.
Sesampainya di rumah si Jamin mendengar pembicaraan
orang-orang tentang Bapaknya yang dibawa Polisi karena kasus pembunuhan. Ia
terkejut, meskipun selama ini ia merasa tidak mempunyai bapak. Setelah masuk
kedalam rumah si Jamin memberikan uang tersebut kepada si Inem. Si Inem
memperhatikan si Jamin dan heran, darimana si Jamin bisa mendapatkan baju yang
di pakainya. Kemudian si Jamin menceritakan semuanya. Si Inem memaksa si Jamin
untuk melepas bajunya dan menggantinya dengan baju yang compang-camping.
Tiba-tiba si Jamin menemukan sesuatu dari saku celananya dan si Jamin berusaha
agar ibu tirinya tidak menyuruhnya melepaskan celananya, karena takut ibu
tirinya menemukan barang yang ada di saku celananya itu. Setelah ibu tirinya
pergi si Jamin mengambil barang yang di sakunya ternyata itu adalah sebuah
cin-cin dan ia tahu pasti cin-cin itu milik nyonya Fi (istrinya Kong Sui). Saat
Jamin sedang melihat-lihat cin-cin itu tiba-tiba si Inem merampas cin-cin itu.
Si Jamin berusaha untuk merebutnya kembali tapi ia tidak bisa, ia malah disuruh
pergi untuk meminta-minta. Si Jamin pun pergi dengan hati sedih karena ia tidak
bisa mengembalikan cin-cin itu kepada nyonya Fi.
Di tempat lain Kong Sui dan istrinya berdebat masalah si
Jamin karena Kong Sui mempercayai cerita orang tentang kejelekan pengemis,
tetapi nyonya Fi tetap mengatakan, bahwa anak itu tulus hati. Nyonya Fi terus
membela anak itu sehingga suaminya mengalah dan kembali bekerja.
Ternyata cerita itu benar si Jamin kembali meminta-minta
dan memakai baju compang-camping karena baju pemberian nyonya Fi sudah di jual
oleh ibu tirinya.
Si Jamin selalu berjalan berkeliling dekat toko Kong Sui.
Siang malam ia memikirkan nyonya Kong Sui yang pengasih itu. Kalau dia melihat
dari jauh, pikirannya senang, tetapi dia tidak berani datang ke rumahnya karena
malu dan segan karena cin-cin itu munkin sudah di jual oleh ibu tirinya.
Suatu hari si Jamin sedang jalan-jalan di Mngga Besar,
terdengar suara yang memanggil namanya. Ternyata yang memanggilnya itu si Johan
adiknya, terkejut bercampur heran ia melihat adiknya memegang suatu benda yang
berkilau ternyata cin-cin itu. Johan mengambil cin-cin itu saat si Inem sedang
pergi, karena dia tahu dimana cin-cin itu di simpan. Dia memberikan cin-cin itu
kepada abangnya (kakaknya). Ia merasa beruntung daripada mendapat harta yang
berlimpah. Pada waktu itu juga si Jamin pergi bersama adiknya (karena adiknya takut
untuk pulang ke rumah) ke Pasar Senen untuk mengembalikan barang itu. Mereka
berjalan menyimpang kekiri kekanan. Tidak lama kemudian, sampailah mereka ke
Pasar Senen, tampaklah toko obat Kong Sui. Ia berkata dengan riang kepada
adiknya dan menunjukan rumah itu. Saat berjalan menuju rumah itu tiba-tiba si
Johan merasa ditarik kesebelah kanan oleh abangnya. Si Johan menjadi bingung,
ia melihat si Jamin terpelanting ke sisi jalan, terhantar disana, kepalanya
berlumuran darah. Banyak orang berkerumun di tempat kecelakaan. Beberapa orang
merasa kasihan mengangkat si Jamin kedalam kereta akan dibawa ke Rumah Sakit
Miskin di Glodok. Polisi cepat memeriksa asal mula kecelakaan itu.
Orang-orang pun bubar, tempat yang tadinya ramai kini
seperti biasa, seolah-olah tidak ada krjadian apa-apa. Tinggal si Johan sendiri
yang tak berhenti menangis, karena Jakarta itu ramai, anak menangis ditengah
jalan sudah biasa.
Si Johan tak mengerti! Semua itu terjadi dalam sekejap
mata. Ia hanya tahu abangnya luka parah. Ia melihat sesuatu yang berkilauan dan
ia mengambilnya. Ia terkejut melihat cin-cin itu, lalu ia teringat untuk
mengembalikan cin-cin itu. Dengan tidak berpikir panjang ia langsung berjalan
menuju rumah obat Kon Sui. Tetapi dia tidak berani masuk kedalam. Ia hanya berdiri
didepan, melihat-lihat kedalam. Didekat meja besar dia melihat Kong Sui, dia
sedang berbicara dengan orang yag membeli obat. Di kursi dekat pintu duduk
seorang perempuan itulah nyonya Fi. Nyonya Fi sedang berbicara dengan
tetangganya. Tetangga itu bercerita tentang kecelakaan yang tadi, nyonya Fi
merasa kasihan pada anak itu. Kemudian tetangga itu pulang. Si Johan hendak
masuk, tetapi ia tidak berani, sebab ia tidak kenal dengan orang yang punya
rumah itu dan ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Beberapa lama kemudian ia
memberanikan diri, karena ia berpikir bahwa tak ada jalan lain melainkan
menceritakannya kepada Kong Sui, karena pulang pun dia takut ibu tirinya.
Kemudian ia masuk dan memberi hormat kepada nyonya Fi, waktu itu Kong Sui ada
dibelakang. “cin-cin ini punya nyonya” kata si Johan sambil meletakannya
dimeja. Nyonya mengambil dan mengamati cin-cin itu, rupanya cin-cin itu milik
anaknya yang sudah meninggal. Kemudian nyonya Fi bertanya pada Johan darimana
dia mendapatkan cin-cin itu. Johan menjelaskan semuanya termasuk kecelakaan
yang terjadi pada abangnya. Kemudian Johan dan nyonya Fi pergi ke rumah sakit
untuk melihat si Jamin.
Sesampainya di rumah sakit mereka tidak di perolehkan masuk
oleh petugas, tetapi nyonya Fi terus memohon. Akhirnya mereka di persilahkan
dan di antar ke kamar Jamin. Setiba di kamar mereka melihat Jamin dengan
keadaan tidur dan kepalanya di perban dan ada bekas darah yang masih keluar. Si
Johan menangis melihat abangnya lalu dipegang tangan abangnya.
Karena mendengar suara Johan si Jamin pun tersadar.
Ketika ia melihat nyonya Fi ia teringat dengan kebaikannya. Ia berbicara
tentang cin-cin itu dan ia menitipkan Johan kepada nyonya Fi, sebelum akhirnya
dia menghembuskan nafas terakhirnya. Jamin dimakamkan disebelah makam ibunya.
Johan dirawat dan di sekolakan oleh keluarga Kong Sui. Setelah tiga bulan
Bertes keluar dari penjara karena ia terbukti tidak bersalah. Ketika ia pulang,
ia mendengar berita kalau si Jamin sudah meninggal dan si Inem tidak ada yang
tahu dia berada dimana. Kemudian dia menemui Johan. Setelah lima tahun Johan
lulus dari Sekolah Rendah dan meneruskan ke Sekolah Pertukangan di Kampung
Jawa. Segala biayanyadi tanggung oleh keluarga Kong Sui. Ia selalu berharap
dapat membalas pertolongan dan kebaikan keluarga Kong Sui.
3.
Kekurangan dan Kelebihan
·
Kekurangan
Bahasanya sulit dimengerti karena masih menggunakan
bahasa Melayu, jadi si pembaca membutuhkan waktu yang lama untuk memahami isi
ceritanya.
·
Kelebihan
Jalan ceritanya sulit di tebak membuat si pembaca jadi
penasaran dan ingin membacanya, disini juga diceritakan pahit manis kehidupan
yang sebenarnya, dan membuat pembaca berada pada situasi tersebut.
RESENSI NOVEL POPULER
1.
Identitas Novel
a. Judul :
Sang Pemimpi
b. Pengarang :
Andrea Hirata
c. Penerbit :
BENTANG PUSTAKA
d. Tahun Terbit :
2009
e. Editor :
Imam Risdiyanto
f. Cetakan :
Kedua puluh enam
g. Tebal Halaman: 253 halaman
h.
Tokoh-tokoh :
a)
Ikal( si penulis) :
anak kampung yang miskin, sahabat Arai sekaligus saudara jauh Arai. Ia adalah sprinter di SMAnya, ia menampilkan kebolehannya
ketika ia dikejar oleh Pak Mustar.
b)
Arai : saudara
angkat Ikal ketika kelas 3 SD saat ayahnya (satu-satunya anggota keluarga yang
tersisa) meninggal dunia. Seseorang yang mampu melihat keindahan di balik
sesuatu, sangat optimis dan Arai adalah sosok yang begitu spontan dan jenaka,
seolah tak ada sesuatupun di dunia ini yang akan membuatnya sedih dan patah
semangat.
c)
Jimbron : anak yatim
piatu yang diasuh oleh seorang pastur Katolik bernama
Geovanny. Berwajah bayi dan bertubuh subur yang sangat polos. Bicaranya gagap
dan dia sangat terobsesi pada kuda, dan dia adalah penyeimbang antara Arai dan
Ikal, kepolosan dan ketulusannya adalah sumber simpati dan kasih sayang dalam
diri keduanya untuk menjaga dan melindunginya.
d)
Pendeta Geovanny : seorang Katolik yang mengasuh
Jimbron selepas kepergian kedua orangtua Jimbron. Meskipun berbeda agama dengan
Jimbron, dia tidak memaksakan Jimbron untuk turut menjadi umat Katolik. Bahkan
dia tidak pernah terlambat mengantar Jimbron pergi ke masjid untuk mengaji.
Meski disebut Pendeta, Geovanny ini sebenarny adalah seorang Pastor.
e)
Pak Mustar : salah satu
pendiri SMA Negeri
Manggar. Ia adalah wakil kepala sekolah SMA Negeri Manggar, ia terkenal dengan
aturan-aturannya yang disiplin dan hukuman yang sangat berat. Namun sebenarnya
beliau adalah pribadi yang sangat baik dan patut dicontoh.
f)
Pak Balia : Kepala
Sekolah SMA Negeri Manggar. Laki-laki muda, tampan, ia mengajar di bidang seni.
g)
Nurmala : gadis pujaan
Arai sejak pertama kali Arai melihatnya. Nurmala adalah gadis yang pandai,
selalu menyandang ranking 1.
h)
Laksmi : gadis pujaan
Jimbron. Telah kehilangan kedua orangtuanya dan tinggal serta bekerja di sebuah
pabrik cincau. Semenjak kepergian orangtuanya ia tidak pernah lagi tersenyum, ia
baru dapat tersenyum ketika Jimbron datang mengendarai sebuah kuda putih milik
Capo.
i)
Capo Lam Nyet Pho : Seorang yang
membuka peternakan kuda meskipun kuda adalah hewan yang asing bagi komunitas Melayu.
j)
Taikong Hamim : Guru mengaji
di masjid di kampung
Gantung. Dikenal sebagai sosok yang sering memberlakukan hukuman fisik kepada
anak-anak yang melakukan kesalahan.
k)
Nurmi : tetangga
Arai dan Ikal, dia adalah gadis yang sangat mencintai biola.
l)
A Siong : Pemilik toko
kelontong tempat Ikal dan Arai berselisih tentang penggunaaan uang tabungan.
m)
Deborah Wong : Istri A
Siong dan ibu dari Mei Mei. Perempuan asal Hongkong yang tambun
dan berkulit putih.
n)
Mei Mei : Gadis kecil
anak Deborah Wong.
q)
Bang Zaitun : Seniman
musik pemimpin sebuah kelompok Orkes Melayu. Dikenal sebagai orang yang
pernah mempunyai banyak pacar dan hampir memiliki 5 istri.
2.
Sinopsis
Senin pagi, setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar
yang terkenal dengan julukan seram, mengunci pagar sekolah. Dia berdiri di
podium menjadi inspektur upacara. Banyak siswa yang terlambat termasuk Ikal,
Jimbron, dan Arai. Mereka malah meniru-nirukan pidato Pak Mustar, pemimpinnya
yang tak lain adalah Arai. Pak Mustar ngamuk, dia meloncat dari podium dan
mengajak dua orang penjaga untuk mengejar mereka.
Saat itu Ikal dan Jimbron sedang duduk penuh gaya diatas
sepeda jengkinya. Tanpa buang waktu mereka mengeluarkan segenap daya pesona
menarik perhatian para siswi yang nongkrong berderet-deret. Jimbron membunyikan
kliningan sepedanya dan bersiul dengan lagu yang tidak jelas. Ikal mengaduk
rambutnya dengan minyak andalannya yaitu minyak hijau ajaib Tancho yang selalu
ada didalam tasnya, menyisir seluruh rambut dan bergaya jambul. Didekat para
siswi Ikal berpura-pura membetulkan tali sepatu yang sebenarnya tidak apa-apa,
lalu ketika bangkit Ikal menyibakkan jambulnya, tetapi para siswi malah
menjerit histeris. Mereka menatap seseorang dibelakang Ikal yang ternyata itu
adalah Pak Mustar. Ikal akan melompat tapi terlambat, Pak Mustar merenggut
kerah bajunya dengan keras, hingga kancing-kancing bajunya putus. Saat Pak
Mustar akan menampar Ikal, Ikal tiba-tiba lari dan melesat jauh, Pak Mustar dan
kedua orang yang membantunya, mengejar dibelakang Ikal dengan peluit penjaga
sekolah yang menjerit-jerit. Para siswi tadi berteriak menyemangati dan
mendukung Ikal, karena mereka benci kepada Pak Mustar.
Hubungan persahabatan dan persaudaraan antara Ikal (sang
penulis) dan Arai, serta persahabatan keduanya dengan Jimbron ketika masa-masa
remaja (SMA). Perjuangan dan kesetiaan terhadap mimpi mereka. Arai dan Ikal
masih bertalian darah. Usianya sebaya dengan Ikal. Neneknya adalah adik kandung
kakeknya Ikal dari pihak ibu. Namun malang nasibnya, waktu ia kelas 1 SD,
ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru 6 tahun ketika itu, dan
ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah
yang masih berlumuran darah. Ibu dan anak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai
tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak
kelas 3 SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia
kemudian diasuh oleh keluarga Ikal. Arai adalah sebatang pohon kara di tengah
padang karena hanya tinggal ia sendiri dari satu garis keturunan keluarganya.
Ayah ibunya merupakan anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua pihak
orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk
orang terakhir yang tersisa dari suatu klan (keturunan). Arai adalah seorang
yang mampu melihat keindahan di balik sesuatu, sangat optimis dan selalu
melihat suatu peristiwa dari secara positif. Arai adalah sosok yang begitu
spontan dan jenaka, seolah tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang akan
membuatnya sedih dan patah semangat. Kesedihan hanya tampak padanya ketika ia
mengaji Al-Qur'an. Di hadapan kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti
orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan rasa
kehilangan seluruh orang yang dicintainya. Setiap habis magrib Arai melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur'an di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah
terdiam. Jika Arai mengaji, Ikal bergegas menuruni tangga rumah panggung,
kemudian berlari sekuat tenaga.
Karena
berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus
bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba
sesuatu yang baru. Arai suka memanggil Ikal dengan nama lain “Tonyo” dengan gaya Lone Ranger. Jimbron,
anak yatim piatu. la gagap, tapi tak selalu gagap. Jika ia panik atau sedang
bersemangat maka ia gagap. Jika suasana hatinya sedang nyaman, ia berbicara
senormal orang biasa. Jimbron bertubuh tambun, seperti bonsai kamboja Jepang:
bahu landai, lebar, dan lungsur, gemuk berkumpul di daerah tengah. Wajahnya
seperti bayi, bayi yang murung, seperti bayi yang ingin menangis, jika
melihatnya langsung timbul perasaan ingin melindunginya. Kalau mengaji, ia
selalu diantar seorang pendeta (sebetulnya pastor karena beliau seorang
Katolik). Beliau biasa dipanggil Pendeta Geovanny. Setelah sebatang kara
seperti Arai, Jimbron menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah
Italia itu tak sedikit pun bermaksud merubah keyakinan Jimbron. Beliau malah
tidak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid. Nasib Jimbron
tak kalah menggiriskan dengan Arai.
Jimbron adalah anak
tertua dari tiga bersaudara. la memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya
wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung
pada ayahnya. Ayahnya adalah orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh
hari ibunya wafat, Jimbron bepergian naik sepeda dibonceng ayahnya, masih
berkendara ayahnya terkena serangan jantung. Jimbron pontang-panting dengan
sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. la berusaha sekuat tenaga, panik, dan
jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang sesak napas sambil kesusahan
memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron, kehabisan napas dan pucat pasi
ketakutan. la kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi
pula sudah terlambat, beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Pendeta
Geovanny, sahabat keluarga itu, lalu mengasuh Jimbron. Kedua adik kembar
perempuannya mengikuti bibinya ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka.
Jimbron sangat
menyukai kuda. Menurut cerita, ini berhubungan dengan sebuah film di televisi
balai desa yang ditonton Jimbron seminggu sebelum ayahnya wafat. Dalam film
koboi itu tampak seseorang membawa orang sakit untuk diobati dengan mengendarai
kuda secepat angin sehingga orang itu dapat diselamatkan. Barangkali Jimbron
menganggap nyawa ayahnya dapat tertolong jika ia membawa ayahnya ke Puskesmas
dengan mengendarai kuda. Jimbron menjadi pencinta kuda yang fanatik, tak ada satu pun hal lain yang menarik
di dunia ini bagi Jimbron selain kuda.
Mereka bersekolah di pagi
hari dan bekerja sebagai kuli ngambat di pelabuhan ikan pada dini hari. Hidup
mandiri terpisah dari orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi yang
sangat terbatas namun punya cita-cita besar, sebuah cita-cita yang bila dilihat
dari latar belakang kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
Di kampungnya,
tak ada SMA. Setelah tamat SMP Ikal, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk
sekolah SMA. Setelah 40 tahun merdeka, akhirnya Belitong Timur memiliki sebuah
SMA Negeri. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong Pandan. Pada saat
itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu
menggantungkan nasib, termasuk ayah Ikal, terancam kolaps. Karyawan di-PHK,
memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak
punya pilihan selain bekerja untuk membantu orangtua. Ikal, Arai, dan Jimbron
menjadi kuli ngambat. Karena pekerjaan ini, ketiganya menyewa sebuah los sempit
di dermaga dan pulang ke rumah orangtua setiap dua minggu. Sebelum menjadi kuli
ngambat mereka sempat bekerja sebagai penyelam di padang golf lalu beralih
menjadi part time office boy di kompleks kantor pemerintah untuk
memungkinkannya dapat sekolah.
Mimpi mereka dimulai dimulai dari
guru kesusastraan mereka, Bapak Drs. Julian Ichsan Balia (biasa di panggil Pak Balia). Sebagai
anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan
dan seni, Ikal, Arai, dan Jimbron terpesona pada Pak Balia. Kata Pak Balia “Setiap peristiwa di jagat raya ini
adalah potongan-potongan mozaik. Terserak di sana sini, tersebar dalam rentang
waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok
seperti montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu
dewasa nanti. Lalu apa pun yang kau kerjakan dalam hidup ini, akan bergema dalam keabadian, maka berkelanalah di atas muka bumi ini
untuk menemukan mozaikmu!. Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis.
Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar
suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis
Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan
seni hingga mengubah peradaban". kata Pak Balia sambil memperlihatkan gambar yang
menampakkan seorang pelukis sedang menghadapi sebidang kanvas dengan sedikit
coretan impresi dan dibelakang kanvas itu berdiri menjulang Menara Eiffel seolah menunduk
memerintahkan Sungai Seine agar membelah menjadi dua tepat di kaki-kakinya. Dan
pada saat itulah ikal, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung
dalam satu kejadian
yang sangat ambisius. “cita-cita
kami adalah kami ingin sekolah ke Prancis! Ingin menginjakkan kaki di altar
suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika”.
Setelah lulus SMA,
tabungan dari hasil keringatnya bekerja sebagai kuli ngambat tidaklah cukup untuk sekolah di Prancis. Ikal
dan Arai memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa untuk meneruskan pendidikan.
Jimbron memberikan dua celengan berbentuk kuda berisi tabungannya dari upah
menjadi kuli ngambat selama ini yang selalu ia isi dengan jumlah yang sama pada
masing-masing celengan tersebut kepada kedua sahabatnya. Masing-masing satu
untuk menambah bekal merantau di Pulau Jawa. Celengan kuda tersebut ia dapat
dengan cara memesan kepada anak buah kapal kenalannya di dermaga. Dari anak
buah kapal ini lah Ikal dan Arai berhasil ke Pulau Jawa dengan cara menumpang
dan menjadi buruh kasar (membersihkan dak, memasak, dsb) di kapal yang ia
tumpangi. Dan dari dia pula Ikal dan Arai tahu tujuan pertama ia di Pulau Jawa, yaitu Ciputat. Perpisahan
Ikal dan Arai dengan orang-orang terdekat yang mengantarnya ke pelabuhan
diceritakan dengan cukup mengharukan. Bu Muslimah yang ikut mengantar berpesan
“Jangan kembali sebelum jadi Sarjana”.
Sampai di
Pelabuhan Tanjung Priok pada malam hari, Ikal dan Arai bergegas mencari bis ke Ciputat. Namun tiba-tiba orang didalam
bis menariknya ketika ia menanyakan bis tujuan Ciputat, dan kemudian, mereka
gagal pada tujuan pertama “Ciputat” dan berdiri di terminal yang bertuliskan
“Terminal Baranangsiang” Bogor. Malam pertama mereka tidur di masjid dan
keesokan harinya dengan mudah menemukan Kos di dekat kampus IPB. Oleh karena
kesempatan untuk berkuliah belum mereka dapatkan, dan mereka butuh uang untuk
menyambung hidup, mereka bekerja sebagai tukang foto copy. Mereka juga hampir
menjadi sales alat-alat rumah tangga.
Kemudian Ikal
mendapat kesempatan mengikuti sejenis training untuk menjadi pegawai Pos di
luar kota. Sekembalinya ke kosan di Bogor, Ikal tidak mendapati Arai. Arai
tidak memberikan kabar apa-apa. Menurut kabar, Arai sudah berada di Kalimantan.
Tahun berikutnya, Ikal berkesempatan kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, sementara ia
masih bekerja di kantor Pos. Hingga lulus menjadi Sarjana, Ikal masih belum
bertemu dengan Arai. Namun demikian, cita-citanya untuk sekolah di Prancis
masih melekat di dadanya. Suatu kesempatan, ada beasiswa S2 di UNI Eropa.
Dengan serius Ikal mempersiapkan proposal/papernya. Menurut sang penguji dari
Indonesia, papernya tersebut berkompeten menghasilkan penemuan baru.
Meskipun telah
lama Ikal tidak bertemu dengan Arai, tapi Ikal tahu bahwa Arai tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan ini. Pada tes terakhirnya untuk mendapat beasiswa UNI
Eropa tersebut, secara mengejutkan Ikal bertemu Arai. Ia juga berhasil masuk
pada tes terakhir. Selama ini Arai kuliah pada jurusan Biologi di Universitas
Mulawarman-Kalimantan sekaligus bekerja di toko batu permata. Sambil menungggu
pengumuman beasiswa, Ikal dan Arai menyempatkan pulang ke Belitong. Di
pelataran depan rumahnya, di sisi ayah ibunya ikal membuka surat, mengumumkan bahwa ia mendapat beasiswa
Université de Paris, Sorbonne, Prancis. Dan Arai, di dalam rumah menangis
tersedu di depan foto kedua orang tuanya, memegangi surat seperti surat Ikal.
Ia juga mendapat beasiswa di Universitas yang sama.
3.
Kekurangan dan Kelebihan
a. Kelebihan
·
Sangat
menginspirasi pembaca dalam usahanya untuk meraih mimpi.
·
Yang
asalnya tidak tahu Belitong jadi tahu, karena latar ceritanya di Belitong.
·
menjadi
ladang inspirasi bagi ribuan pelajar dalam mencapai harapan dan cita-citanya.
b. Kekurangan
·
Bahasa banyak menggunakan peribahasa, sehingga si pembaca
sulit untuk memahaminya.
·
Jalan ceritanya terlalu rumit, karena pada awalnya
menceritakan kehidupan yang sedang terjadi, kemudian membahas masa lalunya dan
kembali ke masa yang sedang terjadi, sehingga pembaca menjadi bingung dan baru
mengerti kalau sudah sampai diakhir cerita.
thanks artikel ini membantu saya dalam menyelesaikan tugas kuliah bahasa dan sastra indonesia
BalasHapusijin copas buat tgs skolah... thanks :D
BalasHapusthanks yaa membantu sbg referensi saya dlm review novel :D
BalasHapusIzin copas buat tgs, mkasih sebelumnya
BalasHapus