Sabtu, 30 Maret 2013

Cerpen Cinta Pertama



CINTA PERTAMA
(Teddy Bear)
Karya : Sumarni

Suatu hari disebuah rumah terdengar suara seorang ibu yang memanggil anaknya. “Ra.. Ra.. Rara..cepat berangkat nanti kamu terlambat, cepat mumpung ayahmu belum berangkat, nanti kamu ditinggal ayahmu.” Teriak seorang ibu yang bernama Bu Ima ibunya Rara. “Iya mah, aku sedang memakai sepatu dulu.” “Eh..!! sejak kapan kau ada disitu? mama tidak melihatmu keluar kamar tadi.” Mama ku kelihatan kaget dan bingung melihat anaknya yang tanpa ia sadari sudah berada diteras sejak tadi ia memanggilnya, karena sejak tadi dia mengira anaknya yang agak malas masih didalam kamar. Mama pun keluar menghampiriku diteras depan rumah. “Mah, Rara berangkat sekolah dulu ya, Assalamualaikum.” Aku berpamitan pada mamaku dan langsung duduk dibelakang ayahku yang sudah dari tadi menungguku di motornya. “Waalaikum salam. Eh, kamu tidak....” mama belum selesai bicara aku dan ayah langsung berangkat, kami sudah biasa tidak mau mendengar ocehan mama yang tiap hari kalimat itu-itu aja yang diucapkannya.
Sesampainya di sekolah yaitu di salah satu SMA yang ada di daerah Bandung, yang lebih tepatnya sih sekolah baruku, karena ayahku dipindah kerjakan dari kantor tempat kerjanya dulu ke tempat yang sekarang. Jadi terpaksa deh harus pindah sekeluarga, hmm.. sebel deh aku jadi harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baruku. “Ra, nanti kalau di sekolah kamu harus rajin belajar yah, O ya, kamu harus ra...” “iya ayah aku masuk dulu aku udah telat nih, assalamualaikum” aku langsung memotong omongan ayah dan langsung masuk kelas, meninggalkan ayah yang belum selesai menasehatiku. “Dasar anak ini nggak pernah bisa dengerin nasihat orang tuanya sampai beres.” Keluh ayah sambil bergegas pergi menuju tempat kerjanya.
Dikelas, guru yang bernama Bu Mira memperkenalkanku kepada teman-teman baruku yang ada di kelas. “anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru, dia pindahan dari Cianjur, silahkan nak, perkenalkan dirimu pada teman barumu!” aku langsung memperkenalkan diri “assalamualaikum, hai semuanya! namaku Raini Asyhira, kalian boleh panggil aku rara, salam kenal yah. Terima kasih.” “Rara kamu duduk disana ya!” Bu Mira menunjuk salah satu kursi yang masih kosong, aku langsung menuju kursi tersebut, tapi tiba-tiba aku terjatuh “aduh!” karena tersandung oleh kaki seorang anak laki-laki, mungkin menurutku dia sengaja melakukannya, tapi, ah! jangan berprasangka buruk dulu, aku tidak melawannya aku malah mengacuhkannya dan langsung menuju kursi yang di tunjuk Bu Mira tadi. Pelajaran pun selesai aku mengemas bukuku dan memasukannya ke dalam tas, karena aku mau ke kantin diajak sama teman sebangkuku. “Hai! Aku Nesa, udah waktunya istirahat kita ke kantin yuk..!!” ajak temanku yang bernama Nesa itu, kami baru bisa berkenalan karena tadi sibuk belajar. “Ayoo!!” jawabku singkat, kami langsung pergi ke kantin.
Waktu di kantin aku memesan makanan kesukaanku yaitu bakso dan juice melonnya, Nesa juga pesan makanan yang sama. “Ra tadi kamu nggak kenapa-kenapa kan? biasalah si Rafa kalau ada murid baru dia selalu jahil, nggak usah diladenin apalagi dilawan.” Nesa memberi tahuku tentang anak laki-laki tadi yang membuatku jatuh waktu di kelas. “iya nggak papa kok Nes, lagian aku juga nggak mempermasalahinnya kok, bagiku juga itu udah biasa, walaupun agak sakit dikit sih lutut aku.” Aku berkata bohong padahal aku dendam banget sama anak itu, aku pengen ngebalesnya, tapi aku kan disini masih anak baru jadi aku berusaha buat nggak macem-macem dulu takutnya aku disuruh pindah sekolah, gara-gara masalah yang menurutku sepele. “Hehh!! kenalin gua Rafa Adrian, anak paling populer disekolah ini semua anak disekolah ini pada takluk sama gue dan loe juga harus tunduk sama gua.” ‘buset! sombong banget anak ini, terus aku harus nurutin apa kata dia gituh, sorry lah aku bukan orang yang kaya gitu, yang takut hanya karena gertakan saja’ kataku dalam hati. “Heh! loe nggak denger gue ngomong? kok loe diem aja, ngomong ke, apa loe lagi sakit gigi, apa lagi ngirit suara, hahahaha!!!” dia dan teman gangnya tertawa puas, dia ngomong seenaknya aja karena sejak tadi aku diam saja “Terus! aku harus ngomong apa?” jawabku singkat. “Gini aja deh, loe selaku murid baru disini, loe harus ngikutin semua perintah gue, biar loe aman sekolah disini, iya kan brow?” mengedipkan mata ke kedua anteknya. “Yo’i mas brow” kata kedua anteknya serempak. “Emang kamu siapa? berani-beraninya nyuruh orang sembarangan.” aku menjawab dengan nada cuek. “Heh! gua kan udah bilang tadi siapa gue, pokoknya kalau loe nggak nurut sama gue liat aja entar akibatnya. Cabut brow!!” mereka pergi meninggalkanku dan Nesa. Emang dia pikir dia siapa berani ngatur-ngatur. “Ra kenapa tadi kamu ngomong gitu sama Rafa, kamu tahu nggak disekolah ini nggak ada yang berani ngelawan dia, kalau ada yang ngelawan, anak tersebut akan dikerjain habis-habisan. Sampe-sampe dulu ada yang keluar dari sekolah ini gara-gara dia ngelawan Rafa, kamu mau kaya gitu..?” Nesa menasehatiku. Belum tahu dia kalau aku nggak mempan sama nasihat. “Udah lah gak papa, emang harus dilawan orang kaya gitu biar gak semena-mena sama orang. Kamu tenang aja deh pokoknya semuanya serahin aja sama aku RARA, lihat aja nanti.” “Kamu yakin ra?” Nesa ragu sama penjelasanku. “Udah deh, kamu tenang aja, sekarang kita masuk yuk! udah bel tuh, tapi aku bayar dulu makanannya ya. Hari ini kamu biar aku teraktir deh sebagai tanda persahabatan kita, kamu mau kan jadi sahabat aku.” “Iya deh kita sahabat yah,, hehe.” Aku pun membayar makananku sama Nesa tadi dan kita pergi buru-buru ke kelas, karena kata Nesa guru yang akan masuk sekarang adalah guru paling killer, guru yang paling ditakutin disekolah ini. Aku penasaran guru seperti apa yang ditakuti sama murid sekolah ini. Ketika guru itu masuk kelas, bukan rasa takut yang kurasakan, malah sebaliknya, aku malah suka sama guru itu, namanya Pak Feri, dia tuh udah ganteng, tinggi, matanya sipit, pintar matematika lagi. Ya iya lah dia kan guru matematika, hmm.. aku jadi tambah semangat deh belajarnya, yang membuat kesan killernya karena dia memakai kacamata, padahal menurutku mending dilepas kacamatanya biar kelihatan mata sipitnya, hehe. Sepanjang pelajaran, aku malah memperhatikan gurunya, bukan pelajarannya, kadang malah ngehayal kemana-mana. ‘huh! Dasarr!’
Bel berbunyi waktunya untuk pulang, aku pulang dengan Nesa kebetulan rumah kami searah. Aku heran karena sejak pelajaran tadi dimulai sampai selesai aku tidak melihat Rafa dan gengnya. “Nes, kok Rafa n the gank tadi nggak ada yah pas pelajaran terakhir, kemana mereka.?” Aku bertanya pada Nesa. “Biasa lah, dia suka nggak masuk kalau pelajaran Pak Feri. Pak Feri juga nggak marah kalau Rafa nggak masuk.” “Loh! kok bisa gitu, katanya Pak Feri guru paling ketat peraturannya, kok biasa ngebiarin murid bolos gitu aja pas pelajarannya.?” Aku heran masa murid nggak masuk di biarin aja, guru apaan tuh. “Ya bisa, karena Pak Feri udah menganggap Rafa udah menguasai semua materinya, soalnya dulu dia pernah disuruh ngisi semua soal yang ada dibuku sama Pak Feri dan Rafa bisa ngisi semuanya dengan benar, makanya dia nggak masuk juga Pak Feri nggak masalah.” Nesa menjelaskan semuanya. “Oohh... pintar juga anak sombong itu, pantas aku tadi disuruh Pak Feri buat belajar sama si Rafa.” Tiba-tiba waktu kita lagi asyik ngobrol, dari belakang terdengar bunyi klakson yang sengaja dibunyikan, padahal kita nggak menghalangi jalan, lalu aku lihat kebelakang ternyata si anak sombong itu. Aku langsung menghampiri mobilnya “Heh! kenapa kamu bunyiin klakson keras-keras berisik tahu. Jalanan kan masih luas, lagian aku juga nggak ngehalangin jalan kamu kok.” Aku marah-marah sama dia didepan mobilnya. Kemudian Rafa turun dan mendekatiku. Aku agak mundur karena dia terlalu dekat denganku kami dekat hampir seperti orang yang sedang berpelukan. Disitu aku melihat wajah rafa dari dekat dan sepertinya wajah itu udah nggak asing buat aku, aku ngerasa kayanya aku udah sering ngelihat muka dia tapi dimana dan kapannya aku tidak ingat. Sepertinya Rafa juga ngerasa gitu karena begitu dia melihat wajahku dari dekat dia langsung bengong kaya lagi mikirin sesuatu, kemudian dia mundur menjauhiku. “heuhh.!! (sambil berbalik badan)” Dia langsung pergi ke mobilnya dan langsung pergi gak tahu kemana. Aku masih bengong sambil melihat mobil itu pergi. Nesa yang sejak tadi agak jauh dariku, dia mendekatiku dan heran melihatku jadi bengong. “Hei! Ra! kamu kenapa bengong jangan-jangan gara-gara tadi Rafa terlalu dekat sama kamu, kamu langsung jatuh cinta lagi, karena Rafa yang ganteng makin terlihat ganteng kalau dari jarak dekat, iya kan? ngaku aja deh, kamu suka kan? suka kan.?” Nesa malah ngomong yang enggak-enggak, udah tahu aku benci sama Rafa. Rafa juga benci sama aku. “Hussh! jangan ngaco deh, masa aku suka sama cowok sombong kaya dia, itu nggak mungkin. Aku tuh sukanya sama cowok yang kaya Pak Feri, udah ganteng pintar lagi, hehehe. Udah ah kita pulang ngapain kita diem disini.” Memang tanpa disadari kita dari tadi diam saja dipinggir jalan, aku dan Nesa pun meneruskan perjalanan kami untuk pulang kerumah masing-masing. Sedangkan pikiranku masih nginget-nginget siapa Rafa yah? Rafa itu kok kayanya bagi aku dia udah nggak asing banget gitu. Terus terlintas lagi dipikiranku sosok guru yang ganteng, yang tadi mengajariku rumus-rumus matematika, aduuh! masa aku suka sama guruku sendiri.
Sekitar jam 3 sore aku baru nyampe rumah, padahal aku pulang dari sekolah dari jam 1, jarak dari rumah ke sekolah pun lumayan dekat, mungkin gara-gara kejadian tadi aku jadi lama dijalan, terpaksa deh aku harus bohong sama orang tuaku kalau aku habis kerja kelompok disalah satu rumah temanku. Aku langsung ke kamar dan segera mandi, selesai mandi aku masih kepikiran tentang siapa Rafa, dan diselinigi oleh kekagumanku pada guru matematikaku. Waktu aku buka lemari mau mengambil baju, tiba-tiba aku melihat boneka Teddy Bear yang memakai kalung huruf ‘R’. Aku ambil kalung itu dan kupakai di leherku. Aku udah lupa boneka sama kalung itu datangnya entah darimana. Huh! Daripada pusing mikirin boneka mending aku mengerjakan PR biar aku teringat sama guruku yang gantengnya mirip boyband Korea. Selesai mengerjakan PR aku langsung pergi ke dapur untuk membantu mama yang sedang sibuk masak. “Tumben kamu mau ke dapur, bantuin mama masak lagi, ada apa pasti ada maunya deh.?” Mama menyindirku. Memang sih selama ini aku nggak pernah masuk dapur apalagi buat bantu masak, kecuali kalau ada maunya baru deh aku bantu-bantu mama. “Enggak kok mah, cuma iseng aja, daripada diem di kamar terus, suntuk ah!” kataku. “O! Gituh, O ya gimana sekolahmu lancar? teman barumu gimana? Pada baik kan?” mama langsung melempariku pertanyaan dengan pertanyaan yang pas kayanya buat anak SD yang baru masuk sekolah. Mamaku memang seperti itu, masih memperlakukanku kaya anak kecil, makanya dia nggak bosan untuk menasehatiku tiap pagi. “Ya gitu deh mah, temanku baik kok, walaupun ada 3 orang yang nyebelin sih, tapi nggak papa yang penting aku punya guru yang ganteng mah, itu loh yang gantengnya mirip boyband-boyband Korea gitu mah, aku seneng deh kalau belajar sama dia, hehehe.” Duh, aku jadi curhat deh sama mama. “Ohh! Loh! Kok malah suka sama gurunya, bukan suka sama pelajarannya?” “Biarin aja yang penting ada penyemangat buat aku pergi sekolah. Wle.. (sambil menjulurkan lidah)” Aku langsung pergi ke kamar. Aku mengambil boneka Teddy Bear itu dan mengingat-ngingat dari siapa boneka itu. ‘ah! Iya! Aku ingat boneka ini pemberian sahabat aku waktu kecil, Adri. Adri, dimana yah dia sekarang, kok aku tiba-tiba kangen sama dia.’ Ya udah lah, udah malam mending aku tidur, biar besok gak kesiangan.
Hari-hariku di sekolah berjalan seperti biasa, aku yang makin musuhan sama Rafa yang setiap kali bertemu gak pernah akur kaya tokoh kartun Tom and Jerry, dan aku yang makin mengagumi guru matematika. Sehingga tidak terasa aku sekolah disini udah hampir selesai, kita sedang melaksanakan ujian dan sebentar lagi aku akan lulus SMA, dan hari ini adalah hari terakhir kami melaksanakan ujian, tinggal menunggu hasilnya.
Bel sekolah berbunyi, waktunya untuk pulang, aku segera membereskan alat-alat tulisku ke dalam tas. Aku sedang sibuk beres-beres, tiba-tiba ada yang menghampiriku, ternyata itu adalah Rafa orang yang selama ini jadi musuhku. Ngapain dia nyamperin aku, mau ngajak berantem lagi atau mau ngajelek-jelekin aku lagi didepan teman sekelas. “Hai! Ra! Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu. Nanti aku jemput kamu kerumah yah jam 3. Daahh.! Aku duluan yah, ingat! nanti aku jemput kamu kerumah yah.! Jam 3!” Rafa langsung pergi tanpa mendengar dulu apa jawabanku. “Apa sih si Rafa gak jelas banget, abis ngomong langsung pergi gitu aja tanpa tahu jawabannya apa, emangnya aku mau nurutin kamu? mau ngikutin kamu? kalaupun kamu mau kerumah aku silahkan aja, aku gak bakalan ikut pergi kok pasti gak bakalan di ijinin sama ayah aku, apalagi masa ujian kaya gini mana boleh aku keluar rumah, lagian juga dia gak tahu rumah aku dimana.” Aku gak sadar kalau aku ngedumel sendiri, sampai-sampai Nesa aja bingung aku ngomong apa. “kamu ngomong apa sih Ra? Kamu lagi ngomong sama siapa, sama aku atau sama nyamuk atau sama tembok? ngedumel gitu. Ya udah sekarang kita pulang deh, kamu kan harus siap-siap nanti kan mau ada yang jemput. Ciiee, ciiee, ehem.. ehem..” Nesa malah ngomong kaya gitu, udah tahu aku lagi kesel. “Apa sih, gak akan! dan gak bakalan, dia juga gak tahu rumah aku dimana. Ya udah aku duluan yah aku udah dijemput tuh sama ayah. Dahh! Duluan ya, Nes.” Aku langsung pergi.  
Sesampainya dirumah aku melihat ada tamu dirumahku, aku langsung masuk karena penasaran ingin tahu siapa tamu yang datang kerumahku, jangan-jangan bos ayahku yang akan memindahkan kerja ayah lagi. Ternyata aku salah, setelah aku masuk kedalam ternyata tamu itu adalah guru favoritku, guru matematikaku. Ya Allah, kenapa jantungku dag-dig-dug kaya gini, ada apa? Kenapa dia kesini? Ada perlu apa? Apa ada hubungannya dengan nilai matematikaku? Banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku. “Ra, ini ada tamu kamu, dia udah nunggu kamu dari tadi. Sekarang kamu ganti baju dulu deh, terus kamu temenin dia, kasihan loh dia udah nunggu dari tadi.” Kata mama, yang sekaligus mengagetkan lamunanku. “iya, mah.” Aku langsung pergi ke kamar untuk ganti baju dan kembali lagi ke ruang tamu untuk menemui Pak Feri. Aku duduk disebelah Pak Feri dan menunggu apa yang akan dia katakan. “Ra, maaf yah, saya sudah lancang datang ke rumahmu.” Pak Feri mengawali pembicaraan, setelah hampir setengah jam kita terdiam. “Iya, nggak apa kok Pak, memangnya ada urusan apa yah yang membuat Bapak hingga harus datang kesini, jangan-jangan ada hubungannya dengan nilai ujian saya.” “Nggak, ini gak ada hubungannya dengan sekolah kok, saya datang kesini karena urusan pribadi.” Jawaban Pak Feri membuat hatiku semakin dag-dig-dug ‘hah! Pribadi, apa yah, aku jadi penasaran.’ “Oohh! Bapak tahu rumah saya dari siapa?” “Dari Nesa.” Pak Feri menjawab dengan singkat. “Oohh! Ya sudah Bapak mau ngomong apa sama saya? Silahkan!” aku mempersilahkan Pak Feri untuk bicara. “Hmm, tapi saya nggak bisa ngomong disini, nanti aja kita ketemu di danau jam 4, yah! Saya akan nunggu kamu, dan satu lagi, kalau diluar sekolah kamu jangan panggil saya Bapak, kita kan hanya beda 6 tahun, panggil kakak aja biar tambah akrab. Ya sudah, saya permisi pulang dulu, ingat yah! nanti kita ketemu di danau.” “iya Pak, eh! Kak.” Aku hanya bisa menjawab iya.
Kata-kata Pak Feri tadi makin membuatku deg-degan, apalagi dia nyuruh aku memanggilnya kakak biar tambah akrab, haha,, jangan-jangan dia udah nyadar kalau selama ini aku menyukainya, jangan-jangan dia juga menyukaiku, ahh! Aku seneng banget. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang mengagetkanku. ‘Huh! siapa sih yang ngetuk pintu, ngagetin aja, gak tahu apa aku lagi seneng, ganggu aja orang lagi menghayal.’ Aku langsung menghampiri pintu dan membukanya ternyata yang datang bukan orang yang aku harapkan datang, ternyata yang datang si Rafa. “Ngapain kamu kesini, kamu tahu rumah aku darimana?” aku langsung memberi pertanyaan sama Rafa tanpa mempersilahkan masuk dulu. “Apa sih? Datang-datang bukannya disuruh masuk dulu, malah langsung dikasih pertanyaan yang gak penting. Aku kan disini tamu.” Aku hanya diam, dan tetap tidak mempersilahkannya masuk. “Aku kan tadi udah ngomong sama kamu, kalau aku akan datang kerumahmu jam 3, nah! sekarang kan udah jam 3.” Aku menengok ke arah jam dinding, ternyata benar sekarang udah jam 3, dan aku lupa kalau dia akan kesini, malahan tadinya aku menyangka dia bercanda, karena gak mungkin dia kerumahku, tahu rumahku juga dia enggak. “Hmm, kamu pasti tahu rumahku dari Nesa, kan?” aku langsung menebaknya, karena tadi juga Pak Feri tahu rumahku dari Nesa. “Ya enggak lah, aku tahu rumah kamu dari ayah kamu.” “Hah! Kok dari ayah, emangnya kamu kenal ayah aku?” aku bingung sekaligus kaget mendengar jawaban dari Rafa, masa dia kenal sama ayah, kenal darimana. “jangankan ayah kamu, sama mama kamu aja aku kenal. Ya udah jangan ngebahas itu dulu, mendingan kamu ikut aku sekarang deh, aku mau nunjukin kamu sesuatu.” Tanpa meminta persetujuanku, Rafa langsung menarikku ke mobilnya.
Di mobil “Rafa! Kamu mau bawa aku kemana, aku belum ijin sama ayah sama mama, Rafa! berhenti dulu! aku mau ijin dulu!” Aku marah sama Rafa bukan hanya karena aku belum ijin sama orang tuaku, tapi aku kan harus pergi ke danau untuk menemui Pak Feri. Aku terus memaksa Rafa untuk meghentikan mobilnya, tapi Rafa hanya diam, seakan tak mendengar rengekanku.
Tidak lama kemudian mobil Rafa berhenti, tepat di dekat danau tempat dimana aku akan menemui Pak Feri nanti. Kami turun dari mobil “Ra, kamu ingat danau ini.” Ya, iya lah, ini kan danau dimana kau akan bertemu dengan Pak Feri dan Pak Feri akan ngomong sesuatu yang pribadi di tempat ini, tapi aku hanya diam tidak menjawab pertanyaan Rafa. Rafa melihatku dan ia tersenyum.
Aku hanya diam dan cemberut, karena kesal sama dia. “Dulu, di danau ini kita sering main, kita sering bersenang-senang, berlari-lari mengelilingi pinggir danau, dan kamu lihat gubuk itu (Rafa menunjuk sebuah gubuk mungil yang ada di tepi danau), di gubuk itu kita sering ngobrol dan bercanda.” Hah! Kok dia tahu kalau dulu aku sering main disini, tapi dulu aku main disini dengan Adri teman kecilku bukan dengan Rafa. “Nah! Ini (Rafa memegang kalung yang ada dileherku), aku tahu kamu pasti akan menyimpannya untukku.” Aku makin tambah bingung dengan Rafa, kenapa dia tahu masa kecilku, dan kenapa dia tahu soal kalung ini, padahal yang tahu kalung ini cuma aku sama Adri. ‘Jangan-jangan.. Rafa itu Adri. Yah! Rafa itu Adri, nama lengkap Rafa kan Rafa Adrian.’ Dengan mulut terbata-bata aku memaksakan untuk ngomong. “Ja..jadi kamu Adri? Kamu Adri temen aku dulu? Kamu temen masa kecil aku?” aku langsung bertanya padanya. “Iya, bawel. Kamu sama aja yah, masih bawel kaya dulu.” Jawab Adri sambil mengeluarkan senyum khasnya. “Ahh! aku kangen banget sama kamu.” Secara nggak sadar aku memeluk Rafa, mungkin karena aku senang ketemu lagi sama teman masa kecil aku. Kita pelukan lama banget, hingga aku sadar dan aku ngelepasin pelukan aku.
Aku langsung menuju gubuk itu dan aku duduk di kursi yang ada di depannya. “Jadi kamu beneran Adri? Terus, kenapa selama ini kamu pura-pura nggak kenal sama aku, kamu malah musuhin aku, kamu jahat banget sih sama aku, kamu nggak tahu kan selama ini aku sering kesini, aku nungguin kamu disini tapi kamu nggak pernah datang, kamu jahat banget sih.” Aku menangis sekaligus tertawa karena lucu, orang yang selama ini aku cari ternyata selama ini ada didekatku, yang membuat aku sedih, kenapa aku gak sadar kalau dia ada didekatku selama ini, kenapa aku gak mengenalinya. “Ya ma’af deh soalnya kemarin-kemarin aku belum berani ngaku sama kamu. Jadi, kamu sering kesini?” Rafa bertanya padaku. Aku hanya menangguk, Rafa malah tertawa. “Kenapa ketawa, ada yang lucu?” Aku bertanya dengan nada agak marah. “Enggak! lucu aja, kamu sering kesini, aku juga sering kesini, tapi kita nggak pernah ketemu yah.” Rafa kembali melanjutkan tawanya dengan senyuman. “Emangnya kamu sering kesini?” “Iya, tiap hari malahan. Aku datang kesini hanya berharap siapa tahu kita ketemu lagi. Aku kangen masa-masa kita dulu, tiap kali aku kesini aku merasa senang sekaligus sedih. Senangnya saat aku teringat masa lalu kita, sedihnya aku takut kamu nggak akan kesini lagi untuk menemuiku dan aku takut kamu melupakanku.” Wajah Rafa terlihat sedih namun dia pura-pura tersenyum. Padahal aku juga sedih, kalau sampai aku nggak bisa nemuin dia lagi.
Aku melihat ke arah jam tangan, jam menunjukan jam 04.10, aku sudah janji akan menemui Pak Feri ditempat ini, tapi aku nggak bisa ninggalin Rafa karena aku juga masih kangen sama dia, tapi aku juga gak mungkin ngingkarin janji aku sama Pak Feri, ini kan pertama kalinya Pak Feri mau ngobrol masalah pribadi, siapa tahu dengan apa yang akan dibicarakan nanti, akan menambah peluang untukku. Bagaimana cara ngomong sama Rafa kalau aku harus pergi. Aku mencoba memberanikan diri untuk ngomong “Raf, aku permisi dulu yah sebentar, mau nelpon.” Aku coba mencari alasan agar bisa pergi. “Ya udah pergi aja, jangan lama yah, aku tunggu kamu disini, karena masih ada yang harus aku omongin.”
Aku langsung pergi ke tempat yang dijanjikan Pak Feri. Dari jauh aku melihat Pak Feri yang tersenyum melihat kedatanganku, tapi Pak Feri nggak sendiri, dia disana dengan seorang wanita, mereka terlihat mesra sekali, ternyata wanita itu adalah Nesa sahabatku, kok bisa dia dekat dengan Pak Feri, malahan terlihat sangat mesra. “Hei! Kemana aja? Kita udah nunggu kamu dari tadi loh.” Nesa menghampiriku dan mengagetkanku yang dari tadi mematung. “iya Nes, maaf aku tadi harus bantu-bantu mama dulu. O ya, ngapain kamu disini sama... Pak Feri?” aku langsung menanyakan hal yang membuatku penasaran dan bertanya-tanya. “O, iya, aku hampir lupa, aku sengaja tadi menyuruh Feri datang kerumah kamu dan meminta kamu agar datang kesini. Itu karena ada berita bahagia yang harus kamu tahu, kami (sambil menggandeng tangan Pak Feri) udah resmi pacaran, dan kamu sebagai sahabatku, kamu harus tahu berita bahagia ini, agar kamu bisa ngerasain kebahagiaan yang aku rasain.” Nesa terlihat bahagia sekali saat dia mengatakan hal itu, tapi bagaimana aku ikut bahagia, sedangkan hati aku malah merasa sakit, tapi aku harus terlihat bahagia didepan Nesa, ‘jadi ini yang dimaksud masalah pribadi Pak Feri, masalah Pak Feri dengan Nesa, bukan denganku.’ “Wah? Beneran? Iya deh aku turut bahagia, semoga kalian bisa akur yah, bisa langgeng sampai kakek nenek.” Aku tersenyum sambil memeluk Nesa, padahal dalam hati aku merasa sedih dan sakit hati, tapi apa boleh buat mereka sangat bahagia dengan ini. Jadi, mulai sekarang aku harus mengubur perasaanku ke Pak Feri. “Ya udah Nes, maafin aku yah, aku nggak bisa lama-lama disini, mama masih membutuhkan bantuanku. Aku ikut bahagia kok, aku bahagia seperti apa yang sedang kalian rasakan.”
Aku langsung pergi meninggalkan mereka yang sedang bahagia. Aku tidak sadar bahwa aku menangis, airmataku jatuh tak tertahankan lagi, sampai-sampai aku nggak sadar kalau aku berjalan sambil menangis, dan nggak sadar kalau sebenarnya Rafa sejak tadi mengikutiku. Rafa mendahuluiku dan mencegatku di depan, aku berusaha menghindari Rafa, tapi Rafa tetap menghalangiku. Rafa berhasil menghalangiku, aku berada dipelukan Rafa “Menangislah, menangislah sepuasmu jika itu membuatmu melupakan rasa sakitmu.” Aku berhenti menangis setelah mendengar perkataan Rafa. “Kok kamu tahu aku sedang sakit hati?” aku penasaran kenapa dia tahu, jangan-jangan dia mengikutiku dari tadi. Ternyata dugaanku benar Rafa mengikutiku ke tempat tadi, tapi kenapa dia bisa tahu perasaanku. “Kok kamu tahu aku sakit hati, Nesa aja yang sahabatku tidak tahu apa yang aku rasakan, tapi ya sudahlah, aku nggak mau merusak kebahagiaan mereka. Aku pulang dulu ya, ini udah sore takut ayah sama mama marah.”
Aku baru mau melangkah, tapi tanganku ditahan oleh Rafa “Jangan pergi dulu, aku tadi belum selesai ngomong, masih ada yang harus aku katakan.” “ya udah, besok aja sekarang aku harus pulang.” Aku melepaskan tanganku dan langsung pergi, tapi perkataan Rafa membuat langkahku terhenti. “Aku tahu kamu sakit hati, aku tahu apa yang kamu rasakan, karena aku cinta sama kamu, Ra. Aku mencitai kamu sejak pertama kali kita bertemu waktu kecil, dari mulai Rara kecil dan sampai Rara yang sekarang, aku masih mencintaimu. Aku memberi kamu kalung dan boneka itu sebagai tanda cinta aku sama kamu.” Aku kaget mendengar perkataan Rafa. “Kamu ngomong apaan sih, kamu jangan ngomong sembarangan.” Aku malah marah sama Rafa. Rafa mendekatiku “Aku nggak ngomong sembarangan, aku ngomong jujur, dan aku tahu kamu juga pasti ngerasain hal yang sama kan? Buktinya kamu masih nyimpan boneka itu dan kamu juga memakai kalungnya kan?” Kata-kata Rafa memang benar, aku memang mencintai dia, malahan dari waktu kita kecil. “Iya, aku juga cinta sama kamu, tapi aku belum bisa ngelupain rasa suka aku sama Pak Feri.” Aku terdiam sejenak, Rafa masih menungguku untuk melanjutkan perkataanku. “Tapi, aku lebih nggak bisa ngelupain kamu. Karena kamu cinta pertamaku, kamu yang membuatku merasakan apa arti cinta sebenarnya, walaupun dulu kita masih anak-anak, dan walaupun dulu kita pernah terpisah, tapi itu tidak merubah perasaanku sama kamu.” Rafa terlihat senang sekali mendengar pengakuanku. “Ya udah, kamu jangan sedih lagi, lupakan masalahmu. Kamu harus bahagia, mereka aja bahagia, masa kamu sedih.” Perkataan Rafa membuatku senang, membuat hatiku berbunga-bunga lagi. “Iya deh, aku nggak bakalan sedih lagi.” “Jadi sekarang kita gimana, kita resmi pacaran, kan?” aku hanya mengangguk malu. “Ya, udah masalah kamu suka sama Pak Feri, nanti juga akan hilang seiring berjalannya waktu.” “Kalau nggak bisa ilang gimana?” aku menggoda Rafa, tapi dia hanya bilang “Nggak mungkin, pasti bakal lupa, aku yang akan membuat kamu amnesia sama Pak Feri. Emangnya aku sama Pak Feri gantengan siapa sih? Gantenga aku kalee.!” Malah dijawab dengan bercanda. “Iya deh, percaya. Ganteng sih kalau dilihat dari kaleng rombeng, haha..” Aku balik bercandain dia. “Tapi cinta kan? Ya udah, sekarang hapus dulu yah airmatanya, malu nanti kalau ada yang ngelihat, nantinya malah aku yang dituduh udah buat anak orang nangis. Mana disini gak ada tukang balon.” Dia malah bercanda sambil ngapusin airmataku pakai tangannya. “Ya udah, kita pulang yuk! kamu mau aku dimarahin ayah, karena pulang malem?” kami pun melangkah pergi menuju rumahku.
Didanau ini lah kita pertama kali bertemu, di danau ini pula kami memulai kisah baru kami dimasa remaja, aku berharap danau ini akan selalu merasakan kebahagiaanku, setiap waktu, setiap detik. Aku harap danau ini akan menjadi saksi cintaku dan aku berharap danau ini bisa menceritakan kisahku kepada anak cucuku kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar