CINTA
PERTAMA
(Teddy
Bear)
Karya : Sumarni
Suatu hari disebuah rumah terdengar
suara seorang ibu yang memanggil anaknya. “Ra.. Ra.. Rara..cepat berangkat
nanti kamu terlambat, cepat mumpung ayahmu belum berangkat, nanti kamu
ditinggal ayahmu.” Teriak seorang ibu yang bernama Bu Ima ibunya Rara. “Iya mah,
aku sedang memakai sepatu dulu.” “Eh..!! sejak kapan kau ada disitu? mama tidak
melihatmu keluar kamar tadi.” Mama ku kelihatan kaget dan bingung melihat
anaknya yang tanpa ia sadari sudah berada diteras sejak tadi ia memanggilnya,
karena sejak tadi dia mengira anaknya yang agak malas masih didalam kamar. Mama
pun keluar menghampiriku diteras depan rumah. “Mah, Rara berangkat sekolah dulu
ya, Assalamualaikum.” Aku berpamitan pada mamaku dan langsung duduk dibelakang
ayahku yang sudah dari tadi menungguku di motornya. “Waalaikum salam. Eh, kamu
tidak....” mama belum selesai bicara aku dan ayah langsung berangkat, kami
sudah biasa tidak mau mendengar ocehan mama yang tiap hari kalimat itu-itu aja
yang diucapkannya.
Sesampainya
di sekolah yaitu di salah satu SMA yang ada di daerah Bandung, yang lebih
tepatnya sih sekolah baruku, karena ayahku dipindah kerjakan dari kantor tempat
kerjanya dulu ke tempat yang sekarang. Jadi terpaksa deh harus pindah
sekeluarga, hmm.. sebel deh aku jadi harus beradaptasi lagi dengan lingkungan
baruku. “Ra, nanti kalau di sekolah kamu harus rajin belajar yah, O ya, kamu
harus ra...” “iya ayah aku masuk dulu aku udah telat nih, assalamualaikum” aku
langsung memotong omongan ayah dan langsung masuk kelas, meninggalkan ayah yang
belum selesai menasehatiku. “Dasar anak ini nggak pernah bisa dengerin nasihat
orang tuanya sampai beres.” Keluh ayah sambil bergegas pergi menuju tempat
kerjanya.
Dikelas,
guru yang bernama Bu Mira memperkenalkanku kepada teman-teman baruku yang ada
di kelas. “anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru, dia pindahan dari Cianjur,
silahkan nak, perkenalkan dirimu pada teman barumu!” aku langsung memperkenalkan
diri “assalamualaikum, hai semuanya! namaku Raini Asyhira, kalian boleh panggil
aku rara, salam kenal yah. Terima kasih.” “Rara kamu duduk disana ya!” Bu Mira
menunjuk salah satu kursi yang masih kosong, aku langsung menuju kursi
tersebut, tapi tiba-tiba aku terjatuh “aduh!” karena tersandung oleh kaki
seorang anak laki-laki, mungkin menurutku dia sengaja melakukannya, tapi, ah!
jangan berprasangka buruk dulu, aku tidak melawannya aku malah mengacuhkannya
dan langsung menuju kursi yang di tunjuk Bu Mira tadi. Pelajaran pun selesai
aku mengemas bukuku dan memasukannya ke dalam tas, karena aku mau ke kantin
diajak sama teman sebangkuku. “Hai! Aku Nesa, udah waktunya istirahat kita ke
kantin yuk..!!” ajak temanku yang bernama Nesa itu, kami baru bisa berkenalan
karena tadi sibuk belajar. “Ayoo!!” jawabku singkat, kami langsung pergi ke
kantin.
Waktu
di kantin aku memesan makanan kesukaanku yaitu bakso dan juice melonnya, Nesa juga
pesan makanan yang sama. “Ra tadi kamu nggak kenapa-kenapa kan? biasalah si
Rafa kalau ada murid baru dia selalu jahil, nggak usah diladenin apalagi
dilawan.” Nesa memberi tahuku tentang anak laki-laki tadi yang membuatku jatuh
waktu di kelas. “iya nggak papa kok Nes, lagian aku juga nggak
mempermasalahinnya kok, bagiku juga itu udah biasa, walaupun agak sakit dikit sih
lutut aku.” Aku berkata bohong padahal aku dendam banget sama anak itu, aku
pengen ngebalesnya, tapi aku kan disini masih anak baru jadi aku berusaha buat
nggak macem-macem dulu takutnya aku disuruh pindah sekolah, gara-gara masalah
yang menurutku sepele. “Hehh!! kenalin gua Rafa Adrian, anak paling populer
disekolah ini semua anak disekolah ini pada takluk sama gue dan loe juga harus
tunduk sama gua.” ‘buset! sombong banget anak ini, terus aku harus nurutin apa
kata dia gituh, sorry lah aku bukan orang yang kaya gitu, yang takut hanya
karena gertakan saja’ kataku dalam hati. “Heh! loe nggak denger gue ngomong?
kok loe diem aja, ngomong ke, apa loe lagi sakit gigi, apa lagi ngirit suara,
hahahaha!!!” dia dan teman gangnya tertawa puas, dia ngomong seenaknya aja
karena sejak tadi aku diam saja “Terus! aku harus ngomong apa?” jawabku
singkat. “Gini aja deh, loe selaku murid baru disini, loe harus ngikutin semua
perintah gue, biar loe aman sekolah disini, iya kan brow?” mengedipkan mata ke
kedua anteknya. “Yo’i mas brow” kata kedua anteknya serempak. “Emang kamu siapa?
berani-beraninya nyuruh orang sembarangan.” aku menjawab dengan nada cuek. “Heh!
gua kan udah bilang tadi siapa gue, pokoknya kalau loe nggak nurut sama gue
liat aja entar akibatnya. Cabut brow!!” mereka pergi meninggalkanku dan Nesa. Emang
dia pikir dia siapa berani ngatur-ngatur. “Ra kenapa tadi kamu ngomong gitu
sama Rafa, kamu tahu nggak disekolah ini nggak ada yang berani ngelawan dia,
kalau ada yang ngelawan, anak tersebut akan dikerjain habis-habisan. Sampe-sampe
dulu ada yang keluar dari sekolah ini gara-gara dia ngelawan Rafa, kamu mau kaya
gitu..?” Nesa menasehatiku. Belum tahu dia kalau aku nggak mempan sama nasihat.
“Udah lah gak papa, emang harus dilawan orang kaya gitu biar gak semena-mena
sama orang. Kamu tenang aja deh pokoknya semuanya serahin aja sama aku RARA, lihat
aja nanti.” “Kamu yakin ra?” Nesa ragu sama penjelasanku. “Udah deh, kamu
tenang aja, sekarang kita masuk yuk! udah bel tuh, tapi aku bayar dulu
makanannya ya. Hari ini kamu biar aku teraktir deh sebagai tanda persahabatan
kita, kamu mau kan jadi sahabat aku.” “Iya deh kita sahabat yah,, hehe.” Aku pun
membayar makananku sama Nesa tadi dan kita pergi buru-buru ke kelas, karena
kata Nesa guru yang akan masuk sekarang adalah guru paling killer, guru yang
paling ditakutin disekolah ini. Aku penasaran guru seperti apa yang ditakuti
sama murid sekolah ini. Ketika guru itu masuk kelas, bukan rasa takut yang
kurasakan, malah sebaliknya, aku malah suka sama guru itu, namanya Pak Feri,
dia tuh udah ganteng, tinggi, matanya sipit, pintar matematika lagi. Ya iya lah
dia kan guru matematika, hmm.. aku jadi tambah semangat deh belajarnya, yang
membuat kesan killernya karena dia memakai kacamata, padahal menurutku mending
dilepas kacamatanya biar kelihatan mata sipitnya, hehe. Sepanjang pelajaran,
aku malah memperhatikan gurunya, bukan pelajarannya, kadang malah ngehayal
kemana-mana. ‘huh! Dasarr!’
Bel
berbunyi waktunya untuk pulang, aku pulang dengan Nesa kebetulan rumah kami
searah. Aku heran karena sejak pelajaran tadi dimulai sampai selesai aku tidak
melihat Rafa dan gengnya. “Nes, kok Rafa n the gank tadi nggak ada yah pas
pelajaran terakhir, kemana mereka.?” Aku bertanya pada Nesa. “Biasa lah, dia
suka nggak masuk kalau pelajaran Pak Feri. Pak Feri juga nggak marah kalau Rafa
nggak masuk.” “Loh! kok bisa gitu, katanya Pak Feri guru paling ketat
peraturannya, kok biasa ngebiarin murid bolos gitu aja pas pelajarannya.?” Aku
heran masa murid nggak masuk di biarin aja, guru apaan tuh. “Ya bisa, karena Pak
Feri udah menganggap Rafa udah menguasai semua materinya, soalnya dulu dia
pernah disuruh ngisi semua soal yang ada dibuku sama Pak Feri dan Rafa bisa
ngisi semuanya dengan benar, makanya dia nggak masuk juga Pak Feri nggak
masalah.” Nesa menjelaskan semuanya. “Oohh... pintar juga anak sombong itu,
pantas aku tadi disuruh Pak Feri buat belajar sama si Rafa.” Tiba-tiba waktu
kita lagi asyik ngobrol, dari belakang terdengar bunyi klakson yang sengaja
dibunyikan, padahal kita nggak menghalangi jalan, lalu aku lihat kebelakang
ternyata si anak sombong itu. Aku langsung menghampiri mobilnya “Heh! kenapa
kamu bunyiin klakson keras-keras berisik tahu. Jalanan kan masih luas, lagian
aku juga nggak ngehalangin jalan kamu kok.” Aku marah-marah sama dia didepan
mobilnya. Kemudian Rafa turun dan mendekatiku. Aku agak mundur karena dia
terlalu dekat denganku kami dekat hampir seperti orang yang sedang berpelukan.
Disitu aku melihat wajah rafa dari dekat dan sepertinya wajah itu udah nggak
asing buat aku, aku ngerasa kayanya aku udah sering ngelihat muka dia tapi
dimana dan kapannya aku tidak ingat. Sepertinya Rafa juga ngerasa gitu karena
begitu dia melihat wajahku dari dekat dia langsung bengong kaya lagi mikirin
sesuatu, kemudian dia mundur menjauhiku. “heuhh.!! (sambil berbalik badan)” Dia
langsung pergi ke mobilnya dan langsung pergi gak tahu kemana. Aku masih
bengong sambil melihat mobil itu pergi. Nesa yang sejak tadi agak jauh dariku,
dia mendekatiku dan heran melihatku jadi bengong. “Hei! Ra! kamu kenapa bengong
jangan-jangan gara-gara tadi Rafa terlalu dekat sama kamu, kamu langsung jatuh
cinta lagi, karena Rafa yang ganteng makin terlihat ganteng kalau dari jarak
dekat, iya kan? ngaku aja deh, kamu suka kan? suka kan.?” Nesa malah ngomong
yang enggak-enggak, udah tahu aku benci sama Rafa. Rafa juga benci sama aku. “Hussh!
jangan ngaco deh, masa aku suka sama cowok sombong kaya dia, itu nggak mungkin.
Aku tuh sukanya sama cowok yang kaya Pak Feri, udah ganteng pintar lagi,
hehehe. Udah ah kita pulang ngapain kita diem disini.” Memang tanpa disadari
kita dari tadi diam saja dipinggir jalan, aku dan Nesa pun meneruskan
perjalanan kami untuk pulang kerumah masing-masing. Sedangkan pikiranku masih
nginget-nginget siapa Rafa yah? Rafa itu kok kayanya bagi aku dia udah nggak
asing banget gitu. Terus terlintas lagi dipikiranku sosok guru yang ganteng,
yang tadi mengajariku rumus-rumus matematika, aduuh! masa aku suka sama guruku
sendiri.
Sekitar
jam 3 sore aku baru nyampe rumah, padahal aku pulang dari sekolah dari jam 1,
jarak dari rumah ke sekolah pun lumayan dekat, mungkin gara-gara kejadian tadi
aku jadi lama dijalan, terpaksa deh aku harus bohong sama orang tuaku kalau aku
habis kerja kelompok disalah satu rumah temanku. Aku langsung ke kamar dan
segera mandi, selesai mandi aku masih kepikiran tentang siapa Rafa, dan
diselinigi oleh kekagumanku pada guru matematikaku. Waktu aku buka lemari mau
mengambil baju, tiba-tiba aku melihat boneka Teddy Bear yang memakai kalung huruf ‘R’. Aku ambil kalung itu dan kupakai di leherku. Aku udah lupa
boneka sama kalung itu datangnya entah darimana. Huh! Daripada pusing mikirin
boneka mending aku mengerjakan PR biar aku teringat sama guruku yang gantengnya
mirip boyband Korea. Selesai mengerjakan PR aku langsung pergi ke dapur untuk
membantu mama yang sedang sibuk masak. “Tumben kamu mau ke dapur, bantuin mama
masak lagi, ada apa pasti ada maunya deh.?” Mama menyindirku. Memang sih selama
ini aku nggak pernah masuk dapur apalagi buat bantu masak, kecuali kalau ada
maunya baru deh aku bantu-bantu mama. “Enggak kok mah, cuma iseng aja, daripada
diem di kamar terus, suntuk ah!” kataku. “O! Gituh, O ya gimana sekolahmu
lancar? teman barumu gimana? Pada baik kan?” mama langsung melempariku
pertanyaan dengan pertanyaan yang pas kayanya buat anak SD yang baru masuk
sekolah. Mamaku memang seperti itu, masih memperlakukanku kaya anak kecil,
makanya dia nggak bosan untuk menasehatiku tiap pagi. “Ya gitu deh mah, temanku
baik kok, walaupun ada 3 orang yang nyebelin sih, tapi nggak papa yang penting
aku punya guru yang ganteng mah, itu loh yang gantengnya mirip boyband-boyband
Korea gitu mah, aku seneng deh kalau belajar sama dia, hehehe.” Duh, aku jadi
curhat deh sama mama. “Ohh! Loh! Kok malah suka sama gurunya, bukan suka sama
pelajarannya?” “Biarin aja yang penting ada penyemangat buat aku pergi sekolah.
Wle.. (sambil menjulurkan lidah)” Aku langsung pergi ke kamar. Aku mengambil
boneka Teddy Bear itu dan
mengingat-ngingat dari siapa boneka itu. ‘ah! Iya! Aku ingat boneka ini
pemberian sahabat aku waktu kecil, Adri. Adri, dimana yah dia sekarang, kok aku
tiba-tiba kangen sama dia.’ Ya udah lah, udah malam mending aku tidur, biar
besok gak kesiangan.
Hari-hariku
di sekolah berjalan seperti biasa, aku yang makin musuhan sama Rafa yang setiap
kali bertemu gak pernah akur kaya tokoh kartun Tom and Jerry, dan aku yang makin mengagumi guru matematika. Sehingga
tidak terasa aku sekolah disini udah hampir selesai, kita sedang melaksanakan
ujian dan sebentar lagi aku akan lulus SMA, dan hari ini adalah hari terakhir
kami melaksanakan ujian, tinggal menunggu hasilnya.
Bel
sekolah berbunyi, waktunya untuk pulang, aku segera membereskan alat-alat
tulisku ke dalam tas. Aku sedang sibuk beres-beres, tiba-tiba ada yang menghampiriku,
ternyata itu adalah Rafa orang yang selama ini jadi musuhku. Ngapain dia
nyamperin aku, mau ngajak berantem lagi atau mau ngajelek-jelekin aku lagi
didepan teman sekelas. “Hai! Ra! Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku mau
nunjukin sesuatu sama kamu. Nanti aku jemput kamu kerumah yah jam 3. Daahh.!
Aku duluan yah, ingat! nanti aku jemput kamu kerumah yah.! Jam 3!” Rafa
langsung pergi tanpa mendengar dulu apa jawabanku. “Apa sih si Rafa gak jelas
banget, abis ngomong langsung pergi gitu aja tanpa tahu jawabannya apa,
emangnya aku mau nurutin kamu? mau ngikutin kamu? kalaupun kamu mau kerumah aku
silahkan aja, aku gak bakalan ikut pergi kok pasti gak bakalan di ijinin sama
ayah aku, apalagi masa ujian kaya gini mana boleh aku keluar rumah, lagian juga
dia gak tahu rumah aku dimana.” Aku gak sadar kalau aku ngedumel sendiri,
sampai-sampai Nesa aja bingung aku ngomong apa. “kamu ngomong apa sih Ra? Kamu
lagi ngomong sama siapa, sama aku atau sama nyamuk atau sama tembok? ngedumel
gitu. Ya udah sekarang kita pulang deh, kamu kan harus siap-siap nanti kan mau
ada yang jemput. Ciiee, ciiee, ehem.. ehem..” Nesa malah ngomong kaya gitu,
udah tahu aku lagi kesel. “Apa sih, gak akan! dan gak bakalan, dia juga gak
tahu rumah aku dimana. Ya udah aku duluan yah aku udah dijemput tuh sama ayah.
Dahh! Duluan ya, Nes.” Aku langsung pergi.
Sesampainya
dirumah aku melihat ada tamu dirumahku, aku langsung masuk karena penasaran
ingin tahu siapa tamu yang datang kerumahku, jangan-jangan bos ayahku yang akan
memindahkan kerja ayah lagi. Ternyata aku salah, setelah aku masuk kedalam
ternyata tamu itu adalah guru favoritku, guru matematikaku. Ya Allah, kenapa
jantungku dag-dig-dug kaya gini, ada apa? Kenapa dia kesini? Ada perlu apa? Apa
ada hubungannya dengan nilai matematikaku? Banyak pertanyaan yang berkecamuk di
pikiranku. “Ra, ini ada tamu kamu, dia udah nunggu kamu dari tadi. Sekarang
kamu ganti baju dulu deh, terus kamu temenin dia, kasihan loh dia udah nunggu
dari tadi.” Kata mama, yang sekaligus mengagetkan lamunanku. “iya, mah.” Aku
langsung pergi ke kamar untuk ganti baju dan kembali lagi ke ruang tamu untuk
menemui Pak Feri. Aku duduk disebelah Pak Feri dan menunggu apa yang akan dia
katakan. “Ra, maaf yah, saya sudah lancang datang ke rumahmu.” Pak Feri
mengawali pembicaraan, setelah hampir setengah jam kita terdiam. “Iya, nggak
apa kok Pak, memangnya ada urusan apa yah yang membuat Bapak hingga harus
datang kesini, jangan-jangan ada hubungannya dengan nilai ujian saya.” “Nggak,
ini gak ada hubungannya dengan sekolah kok, saya datang kesini karena urusan
pribadi.” Jawaban Pak Feri membuat hatiku semakin dag-dig-dug ‘hah! Pribadi,
apa yah, aku jadi penasaran.’ “Oohh! Bapak tahu rumah saya dari siapa?” “Dari
Nesa.” Pak Feri menjawab dengan singkat. “Oohh! Ya sudah Bapak mau ngomong apa
sama saya? Silahkan!” aku mempersilahkan Pak Feri untuk bicara. “Hmm, tapi saya
nggak bisa ngomong disini, nanti aja kita ketemu di danau jam 4, yah! Saya akan
nunggu kamu, dan satu lagi, kalau diluar sekolah kamu jangan panggil saya
Bapak, kita kan hanya beda 6 tahun, panggil kakak aja biar tambah akrab. Ya
sudah, saya permisi pulang dulu, ingat yah! nanti kita ketemu di danau.” “iya
Pak, eh! Kak.” Aku hanya bisa menjawab iya.
Kata-kata
Pak Feri tadi makin membuatku deg-degan, apalagi dia nyuruh aku memanggilnya
kakak biar tambah akrab, haha,, jangan-jangan dia udah nyadar kalau selama ini
aku menyukainya, jangan-jangan dia juga menyukaiku, ahh! Aku seneng banget. Tiba-tiba
terdengar ketukan pintu yang mengagetkanku. ‘Huh! siapa sih yang ngetuk pintu,
ngagetin aja, gak tahu apa aku lagi seneng, ganggu aja orang lagi menghayal.’
Aku langsung menghampiri pintu dan membukanya ternyata yang datang bukan orang
yang aku harapkan datang, ternyata yang datang si Rafa. “Ngapain kamu kesini,
kamu tahu rumah aku darimana?” aku langsung memberi pertanyaan sama Rafa tanpa
mempersilahkan masuk dulu. “Apa sih? Datang-datang bukannya disuruh masuk dulu,
malah langsung dikasih pertanyaan yang gak penting. Aku kan disini tamu.” Aku
hanya diam, dan tetap tidak mempersilahkannya masuk. “Aku kan tadi udah ngomong
sama kamu, kalau aku akan datang kerumahmu jam 3, nah! sekarang kan udah jam
3.” Aku menengok ke arah jam dinding, ternyata benar sekarang udah jam 3, dan
aku lupa kalau dia akan kesini, malahan tadinya aku menyangka dia bercanda,
karena gak mungkin dia kerumahku, tahu rumahku juga dia enggak. “Hmm, kamu pasti
tahu rumahku dari Nesa, kan?” aku langsung menebaknya, karena tadi juga Pak
Feri tahu rumahku dari Nesa. “Ya enggak lah, aku tahu rumah kamu dari ayah
kamu.” “Hah! Kok dari ayah, emangnya kamu kenal ayah aku?” aku bingung sekaligus
kaget mendengar jawaban dari Rafa, masa dia kenal sama ayah, kenal darimana.
“jangankan ayah kamu, sama mama kamu aja aku kenal. Ya udah jangan ngebahas itu
dulu, mendingan kamu ikut aku sekarang deh, aku mau nunjukin kamu sesuatu.”
Tanpa meminta persetujuanku, Rafa langsung menarikku ke mobilnya.
Di
mobil “Rafa! Kamu mau bawa aku kemana, aku belum ijin sama ayah sama mama, Rafa!
berhenti dulu! aku mau ijin dulu!” Aku marah sama Rafa bukan hanya karena aku
belum ijin sama orang tuaku, tapi aku kan harus pergi ke danau untuk menemui
Pak Feri. Aku terus memaksa Rafa untuk meghentikan mobilnya, tapi Rafa hanya
diam, seakan tak mendengar rengekanku.
Tidak
lama kemudian mobil Rafa berhenti, tepat di dekat danau tempat dimana aku akan
menemui Pak Feri nanti. Kami turun dari mobil “Ra, kamu ingat danau ini.” Ya,
iya lah, ini kan danau dimana kau akan bertemu dengan Pak Feri dan Pak Feri
akan ngomong sesuatu yang pribadi di tempat ini, tapi aku hanya diam tidak
menjawab pertanyaan Rafa. Rafa melihatku dan ia tersenyum.
Aku
hanya diam dan cemberut, karena kesal sama dia. “Dulu, di danau ini kita sering
main, kita sering bersenang-senang, berlari-lari mengelilingi pinggir danau,
dan kamu lihat gubuk itu (Rafa menunjuk sebuah gubuk mungil yang ada di tepi
danau), di gubuk itu kita sering ngobrol dan bercanda.” Hah! Kok dia tahu kalau
dulu aku sering main disini, tapi dulu aku main disini dengan Adri teman
kecilku bukan dengan Rafa. “Nah! Ini (Rafa memegang kalung yang ada dileherku),
aku tahu kamu pasti akan menyimpannya untukku.” Aku makin tambah bingung dengan
Rafa, kenapa dia tahu masa kecilku, dan kenapa dia tahu soal kalung ini,
padahal yang tahu kalung ini cuma aku sama Adri. ‘Jangan-jangan.. Rafa itu
Adri. Yah! Rafa itu Adri, nama lengkap Rafa kan Rafa Adrian.’ Dengan mulut
terbata-bata aku memaksakan untuk ngomong. “Ja..jadi kamu Adri? Kamu Adri temen
aku dulu? Kamu temen masa kecil aku?” aku langsung bertanya padanya. “Iya,
bawel. Kamu sama aja yah, masih bawel kaya dulu.” Jawab Adri sambil
mengeluarkan senyum khasnya. “Ahh! aku kangen banget sama kamu.” Secara nggak
sadar aku memeluk Rafa, mungkin karena aku senang ketemu lagi sama teman masa
kecil aku. Kita pelukan lama banget, hingga aku sadar dan aku ngelepasin
pelukan aku.
Aku
langsung menuju gubuk itu dan aku duduk di kursi yang ada di depannya. “Jadi kamu
beneran Adri? Terus, kenapa selama ini kamu pura-pura nggak kenal sama aku,
kamu malah musuhin aku, kamu jahat banget sih sama aku, kamu nggak tahu kan
selama ini aku sering kesini, aku nungguin kamu disini tapi kamu nggak pernah
datang, kamu jahat banget sih.” Aku menangis sekaligus tertawa karena lucu,
orang yang selama ini aku cari ternyata selama ini ada didekatku, yang membuat
aku sedih, kenapa aku gak sadar kalau dia ada didekatku selama ini, kenapa aku
gak mengenalinya. “Ya ma’af deh soalnya kemarin-kemarin aku belum berani ngaku
sama kamu. Jadi, kamu sering kesini?” Rafa bertanya padaku. Aku hanya
menangguk, Rafa malah tertawa. “Kenapa ketawa, ada yang lucu?” Aku bertanya
dengan nada agak marah. “Enggak! lucu aja, kamu sering kesini, aku juga sering
kesini, tapi kita nggak pernah ketemu yah.” Rafa kembali melanjutkan tawanya
dengan senyuman. “Emangnya kamu sering kesini?” “Iya, tiap hari malahan. Aku
datang kesini hanya berharap siapa tahu kita ketemu lagi. Aku kangen masa-masa
kita dulu, tiap kali aku kesini aku merasa senang sekaligus sedih. Senangnya
saat aku teringat masa lalu kita, sedihnya aku takut kamu nggak akan kesini
lagi untuk menemuiku dan aku takut kamu melupakanku.” Wajah Rafa terlihat sedih
namun dia pura-pura tersenyum. Padahal aku juga sedih, kalau sampai aku nggak
bisa nemuin dia lagi.
Aku
melihat ke arah jam tangan, jam menunjukan jam 04.10, aku sudah janji akan
menemui Pak Feri ditempat ini, tapi aku nggak bisa ninggalin Rafa karena aku
juga masih kangen sama dia, tapi aku juga gak mungkin ngingkarin janji aku sama
Pak Feri, ini kan pertama kalinya Pak Feri mau ngobrol masalah pribadi, siapa
tahu dengan apa yang akan dibicarakan nanti, akan menambah peluang untukku. Bagaimana
cara ngomong sama Rafa kalau aku harus pergi. Aku mencoba memberanikan diri
untuk ngomong “Raf, aku permisi dulu yah sebentar, mau nelpon.” Aku coba
mencari alasan agar bisa pergi. “Ya udah pergi aja, jangan lama yah, aku tunggu
kamu disini, karena masih ada yang harus aku omongin.”
Aku
langsung pergi ke tempat yang dijanjikan Pak Feri. Dari jauh aku melihat Pak
Feri yang tersenyum melihat kedatanganku, tapi Pak Feri nggak sendiri, dia
disana dengan seorang wanita, mereka terlihat mesra sekali, ternyata wanita itu
adalah Nesa sahabatku, kok bisa dia dekat dengan Pak Feri, malahan terlihat
sangat mesra. “Hei! Kemana aja? Kita udah nunggu kamu dari tadi loh.” Nesa
menghampiriku dan mengagetkanku yang dari tadi mematung. “iya Nes, maaf aku
tadi harus bantu-bantu mama dulu. O ya, ngapain kamu disini sama... Pak Feri?”
aku langsung menanyakan hal yang membuatku penasaran dan bertanya-tanya. “O,
iya, aku hampir lupa, aku sengaja tadi menyuruh Feri datang kerumah kamu dan
meminta kamu agar datang kesini. Itu karena ada berita bahagia yang harus kamu
tahu, kami (sambil menggandeng tangan Pak Feri) udah resmi pacaran, dan kamu
sebagai sahabatku, kamu harus tahu berita bahagia ini, agar kamu bisa ngerasain
kebahagiaan yang aku rasain.” Nesa terlihat bahagia sekali saat dia mengatakan
hal itu, tapi bagaimana aku ikut bahagia, sedangkan hati aku malah merasa
sakit, tapi aku harus terlihat bahagia didepan Nesa, ‘jadi ini yang dimaksud
masalah pribadi Pak Feri, masalah Pak Feri dengan Nesa, bukan denganku.’ “Wah?
Beneran? Iya deh aku turut bahagia, semoga kalian bisa akur yah, bisa langgeng
sampai kakek nenek.” Aku tersenyum sambil memeluk Nesa, padahal dalam hati aku
merasa sedih dan sakit hati, tapi apa boleh buat mereka sangat bahagia dengan
ini. Jadi, mulai sekarang aku harus mengubur perasaanku ke Pak Feri. “Ya udah Nes,
maafin aku yah, aku nggak bisa lama-lama disini, mama masih membutuhkan
bantuanku. Aku ikut bahagia kok, aku bahagia seperti apa yang sedang kalian
rasakan.”
Aku
langsung pergi meninggalkan mereka yang sedang bahagia. Aku tidak sadar bahwa
aku menangis, airmataku jatuh tak tertahankan lagi, sampai-sampai aku nggak
sadar kalau aku berjalan sambil menangis, dan nggak sadar kalau sebenarnya Rafa
sejak tadi mengikutiku. Rafa mendahuluiku dan mencegatku di depan, aku berusaha
menghindari Rafa, tapi Rafa tetap menghalangiku. Rafa berhasil menghalangiku,
aku berada dipelukan Rafa “Menangislah, menangislah sepuasmu jika itu membuatmu
melupakan rasa sakitmu.” Aku berhenti menangis setelah mendengar perkataan
Rafa. “Kok kamu tahu aku sedang sakit hati?” aku penasaran kenapa dia tahu,
jangan-jangan dia mengikutiku dari tadi. Ternyata dugaanku benar Rafa
mengikutiku ke tempat tadi, tapi kenapa dia bisa tahu perasaanku. “Kok kamu
tahu aku sakit hati, Nesa aja yang sahabatku tidak tahu apa yang aku rasakan,
tapi ya sudahlah, aku nggak mau merusak kebahagiaan mereka. Aku pulang dulu ya,
ini udah sore takut ayah sama mama marah.”
Aku
baru mau melangkah, tapi tanganku ditahan oleh Rafa “Jangan pergi dulu, aku tadi
belum selesai ngomong, masih ada yang harus aku katakan.” “ya udah, besok aja
sekarang aku harus pulang.” Aku melepaskan tanganku dan langsung pergi, tapi
perkataan Rafa membuat langkahku terhenti. “Aku tahu kamu sakit hati, aku tahu
apa yang kamu rasakan, karena aku cinta sama kamu, Ra. Aku mencitai kamu sejak
pertama kali kita bertemu waktu kecil, dari mulai Rara kecil dan sampai Rara
yang sekarang, aku masih mencintaimu. Aku memberi kamu kalung dan boneka itu
sebagai tanda cinta aku sama kamu.” Aku kaget mendengar perkataan Rafa. “Kamu ngomong
apaan sih, kamu jangan ngomong sembarangan.” Aku malah marah sama Rafa. Rafa
mendekatiku “Aku nggak ngomong sembarangan, aku ngomong jujur, dan aku tahu
kamu juga pasti ngerasain hal yang sama kan? Buktinya kamu masih nyimpan boneka
itu dan kamu juga memakai kalungnya kan?” Kata-kata Rafa memang benar, aku
memang mencintai dia, malahan dari waktu kita kecil. “Iya, aku juga cinta sama
kamu, tapi aku belum bisa ngelupain rasa suka aku sama Pak Feri.” Aku terdiam
sejenak, Rafa masih menungguku untuk melanjutkan perkataanku. “Tapi, aku lebih
nggak bisa ngelupain kamu. Karena kamu cinta pertamaku, kamu yang membuatku
merasakan apa arti cinta sebenarnya, walaupun dulu kita masih anak-anak, dan
walaupun dulu kita pernah terpisah, tapi itu tidak merubah perasaanku sama kamu.”
Rafa terlihat senang sekali mendengar pengakuanku. “Ya udah, kamu jangan sedih
lagi, lupakan masalahmu. Kamu harus bahagia, mereka aja bahagia, masa kamu
sedih.” Perkataan Rafa membuatku senang, membuat hatiku berbunga-bunga lagi.
“Iya deh, aku nggak bakalan sedih lagi.” “Jadi sekarang kita gimana, kita resmi
pacaran, kan?” aku hanya mengangguk malu. “Ya, udah masalah kamu suka sama Pak
Feri, nanti juga akan hilang seiring berjalannya waktu.” “Kalau nggak bisa
ilang gimana?” aku menggoda Rafa, tapi dia hanya bilang “Nggak mungkin, pasti
bakal lupa, aku yang akan membuat kamu amnesia sama Pak Feri. Emangnya aku sama
Pak Feri gantengan siapa sih? Gantenga aku kalee.!” Malah dijawab dengan
bercanda. “Iya deh, percaya. Ganteng sih kalau dilihat dari kaleng rombeng,
haha..” Aku balik bercandain dia. “Tapi cinta kan? Ya udah, sekarang hapus dulu
yah airmatanya, malu nanti kalau ada yang ngelihat, nantinya malah aku yang
dituduh udah buat anak orang nangis. Mana disini gak ada tukang balon.” Dia
malah bercanda sambil ngapusin airmataku pakai tangannya. “Ya udah, kita pulang
yuk! kamu mau aku dimarahin ayah, karena pulang malem?” kami pun melangkah
pergi menuju rumahku.
Didanau
ini lah kita pertama kali bertemu, di danau ini pula kami memulai kisah baru
kami dimasa remaja, aku berharap danau ini akan selalu merasakan kebahagiaanku,
setiap waktu, setiap detik. Aku harap danau ini akan menjadi saksi cintaku dan
aku berharap danau ini bisa menceritakan kisahku kepada anak cucuku kelak.