RAGAM DAN JENIS PUISI
W.H
Hudson menyatakan adanya puisi sebyektif dan puisi obyektif (1959:96). Cleanth
Brooks menyebut adanya puisi naratif dan puisi deskriptif (1979:335-356). David
Daiches menyebut adanya puisi fisik, platonic, dan metafisik (1948:145). X.J.
Kennedy menyebut adanya puisi konkret dan balada (1071:116-226). Dalam kumpulan
puisi Rendra, kita mengenal judul-judul: balada, romansa, stanza, serenada, dan
sebagainya. Ada juga parable atau alegori. Sedangkan istilah ode, himne, puisi
kamar, dan puisi auditorium juga sering kita jumpai.
1.
Puisi
Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi
puisi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan.
a.
Puisi
Narataif
Puisi naratif mengungkapkan cerita
atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif,
dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada,
dan syair.
Ø
Balada
adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau
orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Rendra banyak sekali menulis balada
tentang orang-orang tersisih, yang oleh penyairnya disebut "Orang-orang
Tercinta". Kumpulan baladanya yaitu, Balada Orang-orang Tercinta dan Blues
Untuk Bonnie.
Ø
Romansa
adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantic berisi kisah
percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan
petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan. Rendra juga
banyak menulis romansa. Salah satu bagian dalam "Empat Kumpulan
Sajak"nya berjudul "Romansa" dan berisi jenis puisi romansa,
yakni kisah percintaan sebelum Rendra menikah. Kirdjomuljo menulis romansa yang
berisi kisah petualangan dengan judul “Romance Perjalanan". Kisah cinta
ini dapat huga berarti cinta tanah kelahiran seperti puisi-puisi Ramadhan K.H.
Priangan “Si Jelita”. Priode 1953-1961 banyak ditulis jenis romansa ini.
b.
Puisi
Lirik
Dalam puisi lirik penyair
mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita. Jenis
puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenada.
Ø
Elegi
adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Misalnya "Elegi
Jakarta" karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di kota
Jakarta.
Ø
Serenada
adalah Sajak percintaan yang bisa dinyanyikan. Kata serenada berarti nyanyian
yang tepat dinyanyikan pada waktu senja. Rendra banyak menciptakan serenada
dalam 'Empat Kumpulan Sajak'. Misalnya Serenada hitam, Serenada Biru, serenade
Merah Jambu, serenade ungu, Serenada Kelabu, dan sebagainya. Warna-warna
dibelakang serenada itu melambangkan sifat nyanyian cinta itu, ada yang
bahagia, sedih, kecewa, dan seterusnya.
Ø
Ode
adalah Puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, sesuatu
keadaan. Yang banyak ditulis adalah pemujaan terhadap tokoh-tokoh yang
dikagumi. “Teratai” Sanusi Pane, “Diponegoro” Chairil Anwar, dan “Ode Buat
Proklamator” Leon Agusta merupakan contoh ode yang bagus.
CONTOH ODE
Berikut ini
kutipan Ode Buat Proklamator, sebuah ode yang memuja tokoh proklamator Bung
Karno dan Bung Hatta.
ODE BUAT
PROKLAMATOR
Bertahun
setelah kepergiannya kurindukan dai kembali
Dengan
gelombang semangat halilintar dilahirkan sebuah negri; dalam Lumpur dan lumut
Dengan api
menyapu kelam menjadi untaian permata hijau dibentangan cahaya abadi
Yang
sesantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi menguak kabut gulita
mendung, menerjang benteng demi benteng membalikkan arah topan, menjelmakan
impian demi impian
Dengan
seorang sahabatnya, mereka tanda tangani naskah itu
Mereka
memancang tiang bendera, merobah nama dan peta, berjaga membacakan sejarah,
menggenti bahasa pada buku
Lalu dia
meniup terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma.
Kini kita
ikut membubuhkan nama diatas bengkalainya; meruntuhkan sambil mencari, daftar
mimpi membelit bulan perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di
hutan-hutan, di sawah terbuka yang sakti
Kata
berpasirdibibir pantai hitam dan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap dilaut
biru derap suara yang gempita Cuma bertahan atau menerkam
Ya, walau tak
mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembali bersama gemuruh cinta yang
membangun sejuta rajawali
Tak mengelak
dalam bercumbu, biar berbisa perih dirabu
Berlapis
cemas menggunung sesal mutiara matanya yang pudar
Bagi negriku,
bermimpi dibawah bayangan burung garuda
(Hukla 1979)
Dalam puisi
ini, dapat diungkapkan rasa kagum penyair kepada sang proklamator.
Ungkapan-ungkapan rasa kagum ini sangat mengena dan tidak bersifat klise.
Kerinduan penyair untuk mendengarkan bara semangat yang ditiupkan lewat
pidato-pidato yang berapi-api, dapat kita hayati sejak enam baris terakhir.
c.
Puisi
Deskriptif
Didepan telah dinyatakan bahwa dalam
puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan /
peristiwa, benda, atau suasana dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi
yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya puisi satire,
kritik sosial, dan puisi-puisi impresionitik.
SATIRE, KRITIK SOSIAL dan
IMPRESIONISTIK
Ø
Satire
adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu
keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya.
Ø
Kritik
Sosial adalah Puisi yang juga menyatakan ketidak senangan terhadap keadaan tau
terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidak
beresan keadaan / orang tersebut.
Ø
Impresionistik
adalah Puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu hal.
2.
Puisi
Kamar dan Puisi Auditorium
Istilah puisi kamar dan
puisi auditorium juga kita jumpai dalam buku kumpulan puisi ‘Hukla’ karya Leon
Agusta. Puisi-puisi auditorium disebut juga puisi Hukla (puisi yang
mementingkan suara atau serangakaian suara).
Ø
Puisi
Kamar ialah Puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua
pendengar saja di dalam kamar.
Ø
Puisi
Auditorium adalah Puisi yang cocok dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah
pendengarnya dapat ratusan orang.
Sajak-sajak Leon Agusta
banyak yang dimaksudkan untuk sajak auditorium. Puisi-puisi Rendra kebanyakan
adalah puisi auditorium yang baru memperlihatkan keindahannya setelah suaranya
terdengar lewat pembacaan yang keras. Puisi auditorium disebut juga puisi oral
karena cocok untuk dioralkan.
3.
Puisi
Fisikal, Platonik, dan Metafisikal
Pembagian puisi oleh
David Daiches ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam puisi itu.
Ø
Puisi
Fisikal adalah Puisi bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa
adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang
didengar, dilihat, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi
naratif, balada, impresionistis, juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi
fisikal.
Ø
Puisi
Platonik adalah Puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual
atau kejiwaan. Dapat dibandingkan dengan istilah 'Cinta Platonis' yang berarti
cinta tanpa nafsu jasmaniah. Puisi-puisi ide atau cita-cita, religius, ungkapan
cinta luhur seorang kekasih atau orang tua kepada anaknya dapat dimasukkan ke
dalam klasifikasi puisi platonik.
Ø
Puisi
Metafisikal adalah Puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca
merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius disatu pihak dapat
dinyatakan puisi platonic (menggambarkan ide atau gagasan penyair), dilain
pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (menagjak pembaca merenungkan
hidup, kehidupan, dan Tuhan), karya-karya mistik Hamzah Fansuri seperti Syair
Dagang, Syair Perahu, dan Syair Si Burung Pingai dapat dipandang sebagai puisi
metafisikal. Kasidah-kasidah “Al-Barzanji” karya Ja'far Al-Barzanji dan tasawuf
karya Jalaludin Rumi dapat diklasifikasikan sebagai puisi metafisikal.
4.
Puisi
Subyektif dan Puisi Obyektif
Ø
Puisi
Subyektif disebut juga Puisi Personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan,
pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang
ditulis kaum ekspresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subyektif,
karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian pula puisi lirik
dimana aku lirik bicara kepada pembaca.
Ø
Puisi
Obyektif berarti Puisi yang mengungkapkan hal-hal diluar diri penyair itu
sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan
deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa yang
subyektif.
5.
Puisi
Konkret
Puisi konkret sangat
terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1770-an. X.J.Kennedy
memberikan nama jenis puisi tertentu dengan nama puisi konkret, yakni puisi
yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut pandang
(poem for the eye). Kita mengenal adanya bentuk grafis dari puisi, kaligrafi,
ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan
pengimajian lewat bentuk grafis. Dalam puisi konkret ini, tanda baca dan
huruf-huruf sangat potensial membentuk gambar. Gambar wujud fisik yang 'kasat
mata' lebih dipentingkan dari pada makna yang ingin disampaikan. Contoh dalam
bahasa Inggris, misalnya karya Joice Klimer berikut ini :
t
ttt
rrrrrrr
eeeeeeeee
???
Kata yang hendak
dinyatakan dalam puisi ini hanyalah 'tree', namun karena membentuk gambar pohon
natal, maka pembaca mengetahui bahwa yang dimaksud penyair adalah pohon natal.
Karya Sutardji banyak sekali yang dapat diklasifikasikan sebagai puisi konkret.
Kemudian diikuti oleh penyair-penyair yang lebih muda. Puisi konkret ada yang
berbentuk segi tiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, oval,
spindle, ideografik, dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.
6.
Puisi
Diafan, Gelap, dan Prismatis
Ø
Puisi
Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan
pengimajian, kata konkret dan bahasa figurative, sehingga puisinya mirip dengan
bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat muda dihayati maknanya.
Puisi-puisi anak-anak atau puisi karya mereka yang baru belajar menulis puisi
dapat diklasifikasikan puisi diafan. Mereka belum mampu mengharmoniskan bentuk
fisik untuk mengungkapkan makna. Dengan demikian penyair tersebut tidak
memiliki kepekaan yang tepat dalam takarannya untuk lambang, kiasan, majas, dan
sebagainya. Jika puisi terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan
sukar ditafsirkan. Sebaliknya jika puisi itu kering akan majas dan versifikasi,
maka itu akan menjadi puisi yang bersifat prosaic dan terlalu cerlang sehingga
diklasifikasikan sebagai puisi diafan.
Ø
Dalam
puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas,
versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak
terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca
tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang
keluar dari prisma. Ada bermacam-macam makna yang muncul karena memang bahasa
puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak
gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca
mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah,
maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut.
Penyair-penyair seperti Amir Hamzah
dan Chairil Anwar dapat menciptakan puisi-puisi prismatis. Namun belum tentu
semua puisi yang dihasilkan bersifat prismatis. Hanya dalam suasana mood
seorang penyair besar mampu menciptakan puisi prismatis. Jika puisi itu
diciptakan tanpa kekuatan pengucapan, maka niscaya tidak akan dapat dihasilkan
puisi prismatis. Puisi-puisi dari orang yang baru belajar menjadi penyair
biasanya adalah puisi diafan. Namun kadang-kadang juga kita jumpai puisi gelap.
7.
Puisi
Pernasian, dan Puisi Inspiratif
Ø
Pernasian
adalah sekelompok penyair Prancis pada pertengahan akhir abad 19 yang
menunjukkan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi pernasian
diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh
inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Puisi-puisi yang ditulis oleh
ilmuwan yang kebetulan mampu menulis puisi, kebanyakan adalah puisi pernasian.
Puisi-puisi Rendra dalam “Potret Pembangunan” dalam puisi yang banyak berlatar
belakang teori ekonomi dan sosiologi dapat diklasifikasikan sebagai puisi
pernasian. Demikian juga puisi-puisi Dr. Ir. Jujun S. Suriasumantri yang sarat
dengan pertimbangan keilmuan.
Ø
Puisi
Inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk
ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar
terlibat kedalam puisi itu. Dengan mood, puisi yang diciptakan akan memiliki
tenaga gaib, sekali baca habis. Pembaca memerlukan waktu cukup untuk
menafsirkan.
8.
Stansa
Jenis puisi yang bernama
stanza kita jumpai dalam Empat Kumpulan Sajak karya Rendra. Stanza artinya
puisi yang tediri atas 8 baris. Stanza berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat
terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris
untuk tiap bait, sedangkan dalam setanza seluruh puisi itu hanya terdiri atas 8
baris.
Berikut ini dikutip
contoh stansa yang ditulis sekitar tahun 1969.
Malam
kelabu
Ada
angin menerpa jendela
Ada
langit berwarna kelabu
Hujan
titik satu-Saturday menatap cakrawala malam jauh
Masih
adakah kuncup-kuncup mekar
Atau
semua telah layu
Kelu
dalam seribu janji
Kelam
dalam penantian.
(Herwa,
1969)
9.
Puisi
Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada
puisi-puisi Taufiq Ismail dan mereka yang oleh Jassin disebut angkatan 66.
puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para maha siswa
dan pelajar sekitar tahun 1966. Menurut subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi
demonstrasi 1966 bersifat ke-kita-an, artinya melukiskan perasaan kelompok,
bukan perasaan individu. Puisi-puisi mereka adalah endapan dari pengalaman
fisik, mental, dan emosional selama penyair terlibat dalam demonstrasi 1966.
gaya paradoks dan ironi banyak kita jumpai. Sementara itu, kata-kata yang
membakar semangat kelompok banyak dipergunakan, seperti kebenaran, kamanusiaan,
tirani, kebatilan, dan sebagainya.
Di bawah ini dikemukakan salah satu
contoh.
Mimbar
Dari
mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran
dunia
Suara-suara
kebebasan
Tanpa
ketakutan
Dari
mimbar ini diputar lagi
Sejarah
kemanusiaan
Pengembangan
teknologi
Tanpa
ketakutan
Di
kampus ini
Telah
dipahatkan
Kemerdekaan
Segala despot dan tirani
Tidak
bisa dirobohkan
Mimbar
kami
(Taufiq
Ismail, 1966)
Seperti
halnya puisi pamflet, puisi-puisi demonstrasi merupakan ungkapan sepihak,
sehingga kebenaran sulit ditrima secara obyektif. Pihak yang dibela diberikan
tempat dan kedudukan yang terhormat dan serba benar, sedang pihak yang dikritik
dilukiskan berada dalam posisi yang kurang simpatik.
Puisi pamflet juga mengungkapkan
protes social. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet.
Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan. Munculnya kata-kata
yang berisi protes secara spontan tanpa proses pemikiran atau perenungan yang
mendalam. Istilah-istilah gagah membela kelompoknya disertai dengan istilah
tidak simpatik yang memojokkan pihak yang dikritik. Seperti halnya puisi
demonstrasi, bahasa pusi pamflet juga bersifat prosaic.
Rendra adalah tokoh puisi pamflet.
Didepan telah diberikan salah satu contoh puisi pamflet Rendra yang berjudul
"Sajak Burung Kondor". Kata-kata cukong, dan kondom dinyatakan bersam
dengan kata-kata penderitaan, kelaparan, dan kesengsaraan rakyat kecil yang
dibela. Dalam pusi-puisi pamflet banyak kita jumpai kata-kata tabu yang diungkapkan
penyair untuk menunjukkan kedongkolan hati penyair kepada pihak yang dikritik
atau terhadap keadaan yang tidak memuaskan dirinya.
Puisi pamflet Rendra kehilangan makna
konotatif, suatu kehebatan Rendra dalam menciptakan puisi pada tahun 50-an. Kata-kata
kasar, ungkapan-ungkapan langsung ke sasaran, dan hiperbola yang bertujuan
memojokkan pihak yang dikritik banyak kita jumpai dalam puisi-puisi pamflet
Rendra. Puisi-puisi pamflet Rendra ini mengingatkan kita akan puisi-puisi
Jerman pada awal industrialisasi di sana. Puisi-puisi pamflet Rendra kebetulan
merupakan reaksi terhadap industrialisasi yang berkembang pesat sekitar tahun
1974 (seperti halnya puisi pamflet Jerman).
10. Alegori
Puisi sering-sering mengungkapakan
cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti
dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parable yang juga disebut dongeng
perumpamaan. Dalam kitab suci banyak kita jumpai dongeng-dongeng perumpamaan
yang maknanya dapat kita cari dibalik yang tersurat. Puisi "Teratai"
karya Sanusi Pane boleh dikatakn sebagai puisi alegori, karena kisah bunga
teratai itu digunakan untuk mengisahkan tokoh pendidikan. Kisah tokoh
pendidikan yang dilukiskan sebagai teratai itu digunakan untuk memberi nasihat
kepada generasi muda agar mencontoh teladan 'teratai' itu. Cerita berbingkai
seperti Panca Tantra, 1001 Malam, Bayan Budiman dan Hikayat Bachtiar juga dapat
diklasifikasikan sebagai parable.